Langsung ke konten utama

SETELAH ANDI ARIEF

Secara intelektual,” tulis Daniel Dhakidae dalam buku Cendekiawanan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru, “mereka [PRD] mengambil Marxisme sebagai landasan berpikir, yaitu berpikir untuk melawan.

Oleh: Ragil Nugroho

Andi Arief, mantan ketua Solidaritas Mahasiswa untuk Demokrasi (SMID) dan sekaligus kader Partai Rakyat Demokratik (PRD) ditunjuk sebagai komisaris independen PLN. Penunjukkan ini terasa indah karena bertepatan dengan ultah PRD. Semacam kado terbaik dari Joko Widodo sebagai penghargaan terhadap PRD yang telah dengan konsisten melawan rezim Orde Baru. Setelah sebelumnya Nezar Patria ditunjuk sebagai wakil menteri Kominfo, penunjukkan Andi Arief merupakan alarm bahwa pemerintahan Prabowo-Gibran akan bergerak ke arah progresif revolusioner. 

“Secara intelektual,” tulis Daniel Dhakidae dalam buku Cendekiawanan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru, “mereka [PRD] mengambil Marxisme sebagai landasan berpikir, yaitu berpikir untuk melawan.” Dengan begitu, kader-kader PRD telah teruji baik secara ideologi maupun pratek di lapangan. Komitmen kader-kader PRD terhadap persoalan rakyat tertindas, tidak perlu diragukan lagi. Penunjukkan Andi Arief sebagai komisaris PLN merupakan langkah jitu mengingat perusahaan berlambang petir itu mempunyai peran vital sebagai pelayan rakyat. 

Setelah revolusi Oktober 1917, salah satu fokus Lenin untuk membangun Rusia yang corak produksi kapitalismenya masih ketinggalan dibanding negara Eropa lainnya adalah membangun infrastruktur kelistrikan. Kita tahu, listrik merupakan salah satu urat nadi bagi industrialisasi agar kapitalisme semakin maju. Dengan begitu, upaya membangun sosialisme akan mendapatkan pondasinya. Tidaklah mungkin sosialisme bisa terbangun tanpa kemajuan teknologi sebagaimana telah dipratekkan Tiongkok hari ini. Maka, sebagai kader PRD, Andi Arief memiliki peran yang besar agar PLN bisa secara maksimal mendukung industrialisasi nasional.


Pemerintahan Prabowo-Gibran memang membutuhkan talenta-talenta progresif revoluasioner seperti kader-kader PRD. Namun tidak semua kader-kader PRD memiliki kualitas baik. Ada pula yang memiliki kualitas KW atau imitasi dengan ciri utama masih terjebak pada romantisme masa lalu. Mereka ini yang di zaman AI masih berjualan orang hilang dari bioskop ke bioskop sembari foto bersama dengan tangan kiri terkepal ke angkasa. Terhadap kader PRD semacam ini, kita tak bisa berharap banyak selain menyuburkan perasaan melonkolia dan haru biru tentang heroisme di masa lampau.

Kita hidup di zaman kiwari, dengan problem-problem masa kini. Semua problem tersebut tidak bisa diselesaikan dengan romantisme masa lalu. Program hilirisasi, IKN maupun pembangunan infrastruktur lainnya merupakan persoalan yang penting dibandingkan perasaan personal tentang temannya yang hilang diculik. Kita tak bermoral bila persoalan personal tersebut dibawa menjadi problem orang banyak, seolah-olah menjadi problem nasional sehingga bayi yang baru lahir sampai lansia harus ikut menangis bersama kita. 

Menglorifikasi secara terus-menerus problem personal tersebut merupakan bentuk kemunduran moral dan manipulasi terhadap rakyat. Dengan kata lain, menipu rakyat agar donor dari funding tetap mengalir ke kantong-kantong personal dengan mengatasnamakan korban penculikan. Sebuah manipulasi paling biadab dalam sejarah umat manusia.

Setelah Andi Arief, akan semakin banyak kader-kader terbaik PRD yang akan masuk dalam rezim Prabowo-Gibran. Nama-nama seperti Agus Jabo, Budiman Sudjatmiko, Haris Rusly Moti, Faisol Reza hingga M. Ikhyar Valeyati, diperkirakan akan menghiasi pemerintahan ke depan, baik duduk dijajaran eksekutif maupun posisi lain semacam komisaris. Hal ini tentu akan membawa dampak positif bagi pemerintahan Prabowo Gibran. Kader-kader terbaik PRD bukan kucing dalam karung. Mereka telah teruji kualitas dan komitmennya dalam memperjuangkan kepentingan rakyat. 

Bila semakin banyak kader-kader PRD yang dipercaya oleh Prabowo-Gibran, maka rezim mendatang bisa menjadi seperti rezim Chaves di Venezuela, Morales di Bolivia maupun Castro di Cuba. Ini akan menjadi penanda terbitnya bintang merah di langit Nusantara.***

Komentar

  1. Masuk dalam nominasi Award bung AA ini. Membanggakan dan membahagiakan rakyat informasi ini.

    BalasHapus
  2. Ah masa, yakin bener anda bung, ke-pede-an. Idelogi itu udah usang

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

SENJAKALA PDIP

Sepertinya PDIP sudah kesulitan membendung arus balik politik. Kanjeng Mami semakin ditinggalkan wong cilik. Oleh: Ragil Nugroho (Penikmat ikan koi) Aktivis tani era 90an yang pernah dicabut kumisnya oleh introgrator ketika tertangkap, Hari Gombloh, mengungkapkan bahwa pendukung Ganjar di tapal Kulonprogo tipis alias kecil. Padahal, beber warga Brosot ini, Kulonprogo merupakan salah satu kandang Banteng. Menurutnya, ini wajar karena Kulonprogo dekat dengan Wadas. Seperti kita tahu, selama beberapa tahun Wadas merupakan titik episentrum perlawanan terhadap Ganjar dan PDIP. Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, ada ungkapan, " Sadumuk bathuk sanyari bumi ". Ungkapan ini bermakna bahwa satu sentuhan pada dahi dan satu pengurangan ukuran atas tanah (bumi) selebar jari saja bisa dibayar, dibela dengan nyawa (pati). Bagi orang Jawa, tanah adalah kehormatan dan harga diri. Sebagaimana sentuhan pada dahi yang menurut orang Jawa adalah penghinaan, maka penyerobotan tanah walaupun han