Kisah penculikan mereka buat seperti drama korea yang berseri-seri dengan kisah berurai air mata. Sementara korban penculikan dibiarkan hidup dalam kesengsaraan tiada ujung.
Oleh: Ragil Nugroho
Apa yang dilakukan Mugiyanto Sipin, korban dan keluarga korban penculikan bertemu Sufmi Dasco Ahmad dan Habiburokhman sudah tepat. Langkah tersebut sudah segaris dengan upaya membangun Persatuan Nasional untuk menyongsong Indonesia Emas 2045. Dendam politik sudah waktunya direntas dan tak perlu diperam terus-menerus. Saatnya menatap masa depan karena hidup tidak berada di masa lalu.
Pasca reformasi, korban penculikan menjadi korban dua kali. Pertama, mereka menjadi korban penghilangan paksa dalam konflik politik negara Orde Baru. Kedua, mereka menjadi korban human trafficking demi kepentingan politik dan ekonomi. Masalah pertama merupakan urusan dengan negara. Semenjak era SBY hingga Jokowi, masalah ini telah coba diselesaikan. Jokowi sudah mengambil langkah kongkrit dengan mengakui pelanggaran HAM sejak 1965, dan yang terpenting, hendak menyelesaikan kasus tersebut melalui penyelesaian non litigasi. Tujuannya agar para korban mendapatkan kompensasi sebagai bentuk tanggungjawab negara terhadap kasus pelanggaran HAM yang terjadi.
Apa yang dilakukan Mugiyanto, korban serta keluarga korban penculikan adalah untuk menyelesaikan masalah kedua. Selama ini korban penculikan menjadi korban human trafficking yang sangat biadab. Paling tidak 5 tahun sekali mereka dijadikan komoditas untuk dijual demi kepentingan pasar politik dan ekonomi.
Sumber foto: istimewa
Karl Marx menjelaskan dalam Das Kapital tentang makna komoditas. Menurutnya, komoditas hanya memiliki nilai apabila memiliki nilai guna dan tukar. Korban penculikan memiliki dua nilai itu. Mereka berguna untuk kepentingan politik dan ekonomi. Dan, mereka juga memiliki nilai tukar untuk kepentingan pribadi dan lembaga-lembaga penerima donor. Duka nestapa korban penculikan terus-menerus diputar ulang, entah lewat berbagai acara hingga dibuatkan film, agar mereka tetap memiliki nilai guna dan tukar. Sepertinya, baik Mugiyanto, Aan Rusdianto dan korban penculikan yang lain sudah sadar kalau mereka selama ini hanya menjadi korban human trafficking.
Langkah Mugiyanto, Aan Rusdianto mengikuti langkah yang lebih dulu ditempuh oleh korban penculikan yang lain, yaitu Andi Arief, Nezar Patria dan Faisol Reza. Mereka sudah lebih dulu berdamai dengan masa lalu, menapak ke depan untuk melanjutkan hidup. Kita tak bisa hidup hanya bersandar pada nostalgia masa lalu. Ada keberanian yang mesti diambil untuk keluar dari masa yang telah lewat, segetir apapun itu.
Sebagai manusia yang beradab, kita sudah muak terhadap kapitalisasi terhadap korban penculikan. Sudah sekian lama kisah penculikan mau mereka kapitalisasi, persis Kudatuli dikapitalisasi oleh PDIP, padahal korbannya PRD. Yang terjadi selama ini, orang-orang yang tidak tergores seincipun justru mengkapitalisasi korban penculikan. LSM yang mengatasnamakan orang hilang mau memperdagangkan isu penculikan secara permanen agar gaji bulanan dari donor tak terusik.
Kisah penculikan mereka buat seperti drama korea yang berseri-seri dengan kisah berurai air mata. Sementara korban penculikan dibiarkan hidup dalam kesengsaraan tiada ujung. Setiap upaya agar korban penculikan mendapatkan kompensasi dari negara, diganjal oleh para pengasong orang hilang ini. Mereka tidak mau kehilangan aset tiada tara yang mereka jual setiap 5 tahun sekali. Dalam pilpres terakhir, benar kata kata kader PRD Wibowo Arif : "Pilpres kemarin [korban penculikan] dijual hanya laku 16%."
Kita tahu siapa yang tantrum dengan langkah Mugiyanto, korban dan keluarga korban penculikan. Mereka yang tantrum adalah yang selama ini menjual korban penculikan. Seperti anjing yang dicuri tulangnya, mereka ngereog sembari menyemburkan makian dan hujatan. Mereka inilah yang selama ini berbaju humanis namun sebetulnya srigala yang mengkapitalisasi korban penculikan. Seakan-akan merekalah yang paling paham perasaan dan kemuan korban penculikan. Berparas Santo, padahal mereka dengan kerakusan memperjualbelikan korban penculikan dari tahun ke tahun atas nama kemanusiaan. Kita tak butuh kemanusian seperti itu, yang memanipulasi kesengsaraan korban demi menggemukkan celengan babi para Santo palsu.
Setelah langkah yang diambil oleh Mugiyanto, korban dan keluarga korban penculikan, para pedagang orang hilang sudah kehilangan legitimasi. Mereka sudah tak bisa menyeret-nyeret korban penculikan untuk diperdagangkan. Pun, mereka tak bisa mengatasnamakan korban penculikan lagi. Episode jual beli korban penculikan telah dipupus. Cukup sudah!
Kita telah memasuki era kemanusian yang sebenarnya: menempatkan korban sebagai korban, bukan sebagai barang dagangan LSM dan antek-anteknya.***
Komentar
Posting Komentar