Langsung ke konten utama

CAWE-CAWE JOKOWI DI PEMILU 2024: TITIK PISAH JOKOWI DAN MEGAWATI

Bisa dikatakan, Jokowi dan Megawati/PDIP ibarat satu bantal, tapi beda mimpi.

Oleh: Ragil Nugroho (Pengamat buku-buku CIA)

Ada tugas berat yang harus dipanggul Jokowi untuk menjaga jalan baru kapitalisme Indonesia. Musuh besar yang akan menelikung jalan tersebut justru berada di lingkarannya sendiri, yaitu PDIP. Partai ini, yang mendapat berkah dari reformasi hingga berkembang menjadi kekuatan oligarki, adalah rumah bagi konglomerat-konglomerat lama, markas pensiunan tentara Orde Baru, benteng pengusaha-pengusaha menengah dan birokrat-birokrat politik, basecamp para pengembara politik yang malas pulang. Intinya, manusia-manusia bermental setipe yang belum di-upgrade sejak era radio HT alias masih bermental lama warisan Orde Baru, juga punya bakat bawaan lahir yang sama: kongkalikong. Mereka ini akan berusaha menjegal upaya Jokowi untuk menempatkan Indonesia dalam jalur kapitalisme yang benar. Bisa dikatakan, Jokowi dan Megawati/PDIP ibarat satu bantal, tetapi beda mimpi. Jokowi bermimpi melakukan lompatan jauh ke depan, sementara Megawati dan partainya berkehendak mempertahankan status quo alias meneng-meneng wae serupa kerbau yang sudah posisi wuenak merumput di lapangan bola. 

***

Berita teranyar mengatakan Jokowi akan cawe-cawe dalam gelaran Pemilu 2024. Kabar tersebut tersiar setelah pimred media massa bertemu dengan Jokowi, Senin, 29 Mei 2023. Jokowi tanpa tedeng aling-aling akan cawe-cawe dalam menentukan siapa penerusnya. "Demi bangsa dan negara," katanya.

Pernyataan Jokowi ini merupakan pernyataan perang terhadap elit politik yang selama ini melarangnya untuk cawe-cawe, seperti pernyataan Jusuf Kalla, misalnya. Dan yang lebih penting adalah maklumat perang terhadap partainya sendiri, PDIP. Sebagai orang Jawa, ia sepertinya sudah mangkel, kecewa berat terhadap PDIP. Hampir 10 tahun menjalani "hidup bersama", Jokowi mendapati sifat asli PDIP yang suka merecoki usahanya untuk membuat jalan baru kapitalisme di Indonesia. Kini, sepertinya Jokowi akan membuktikan diri, sebagaimana pernyataanya sendiri sebelum Pilkada DKI Jakarta, bahwa dirinya bukan boneka Megawati.

(Foto: pexels.com)

Dalam laporan Majalah Tempo (04/06/2023) disebutkan bahwa ketika menerima pengurus teras Partai Solidaritas Indonesia, Jokowi mengungkapkan akan mendukung Prabowo Subianto. Tentu saja, sikap ini merupakan perang terbuka terhadap Megawati dan PDIP. Bila pernyataan Jokowi itu benar, PDIP akan kehilangan magnet politiknya dan tentu saja wahyu keprabonnya.

***

Jokowi memang bekerja untuk kapitalisme. Ia bagian dari kapitalisme. Bedanya dengan borjuasi di partainya, ia menghendaki kapitalisme yang lurus, kapitalisme yang konsisten dengan takdir sejarahnya: sebagai corak produksi yang menghancurkan corak produksi feodal. Dalam sejarah perkembangan masyarakat, kapitalisme adalah corak produksi yang progresif, membongkar hubungan produksi feodal yang berporos pada tuan dan hamba sahaya, menjadi hubungan produksi modal yang bertumpu pada borjuasi dan proletariat. Kapitalisme juga menyederhanakan kelas-kelas sosial dalam masyarakat, mengubah kekuasaan feodal menjadi negara demokrasi, mengubah hukum Tuhan (raja sebagai wakil Tuhan di muka bumi) menjadi hukum manusia, menempatkan manusia yang sebelumnya dalam posìsi bertingkat-tingkat sesuai kastanya menjadi setara, dan mengakui hak individu.

Guna melipatgandakan akumulasi modal, kapitalisme akan mendorong modernisasi. Sebagaimana disampaikan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam "Bumi Manusia", pada zaman kapitalisme akan terjadi perubahan ketika tenaga manusia digantikan “torak, sekrup dan mur. Mesin akan menggantikan semua dan setiap macam pekerjaan." Atau menurut bahasa Marx dan Engels dalam "Manifesto Komunis": "Segera sesudah itu uap dan mesin-mesin merevolusionerkan produksi industri." Inilah era modern, era mesin, era industrialisasi. Ketika cerobong-cerobong pabrik muncul di mana-mana. Ketika buruh upahan lahir memenuhi kota-kota.

Benar kata Marx dalam "Manifesto Komunis":  "Borjuasi, di dalam sejarah, telah memainkan peranan yang sangat revolusioner." Namun dalam konteks Indonesia, borjuasi tumbuh menjadi reaksioner. Mereka selalu minta nenen pada kekuasaan. Tak berani mandiri di gelanggang pasar bebas. Jokowi ingin menjadi borjuasi yang revolusioner. Sialnya, dia harus bertumbukan dengan partainya sendiri.

Jokowi mewarisi problem kapitalime pasca Orde Baru. Kekuatan reformis yang muncul tidak cukup kuat mengambil alih kekuasaan. Mereka terfragmentasi dalam berbagai spektrum ideologi dan kepentingan. Tidak ada platform bersama untuk menentukan arah masa depan Indonesia. Tidak ada komitmen untuk menjalankan agenda reformasi ekonomi. Kekuatan lama masih bercokol. Tidak muncul borjuasi baru yang mendorong revolusi neoliberal. Tidak ada dorongan untuk mengubah jalan kapitalisme dengan menuntut transparansi dan akuntabilitas sebagaimana yang seharusnya terjadi dalam pasar bebas. Maka yang terjadi kemudian adalah reorganisasi kekuatan lama.

Pelan namun pasti kekuatan berhasil mengkonsolidasikan diri kembali. Aset-aset konglomerat hitam tidak mampu disita dan pelakunya tidak pernah diadili. Inilah jalan masuk mereka untuk kembali ke pentas ekonomi Indonesia. Bertemulah mereka dengan politisi Senayan yang menggunakan kekuatan politiknya untuk mengumpulkan ceceran pundi-pundi.  Kembalilah terjadi kongkalikong sebagaimana pada masa Orde Baru. Praktik kapitalisme kroni bahkan diperluas sampai ke daerah-daerah dengan adanya desentralisasi. Kapitalisme Indonesia tetap pada jalan lamanya, yang hidup dan berkembang biak dengan semangat KKN (Korupsi, Kolusi, Nepostisme). Jadilah birokrat politik dan parlemen rajin bagi-bagi lisensi kepada borjuasi yang mau memberikan bagian terbanyak. Diperlakukanlah proyek-proyek besar seperti nasi bancakan yang bisa dimakan bareng-bareng oleh kekuatan politik dan borjuasi. Akibatnya, kapitalisme Indonesia tidak mampu berkembang ke arah yang konsisten. Masalah inilah yang diwarisi Jokowi.

Apakah yang diharapkan dari kapitalisme neo liberal pada ujung kekuasaan rezim Soeharto? Sebagaimana yang dipaparkan Vedi R. Hadiz dalam buku "Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Pasca-Soeharto", neo liberalisme menghendaki sistem ekonomi Indonesia agar: "proteksi negara dan perlakuan khusus yang menopang perusahaan-perusahaan konglomerat besar beserta keluarga-keluarga bisnis-politik harus segera dihapuskan." Artinya, sistem ekonomi kapitalis harus kembali ke ajaran moyangnya, Adam Smith, yang menyerahkan segala sesuatunya kepada mekanisme pasar, persaingan bebas. Setiap manusia harus diberikan hak yang sama untuk melakukan kegiatan ekonomi tanpa diintervensi negara. Fungsi negara hanya sebagai fasilisator dan mengantasipasi keputusan pasar.

Akibat kapitalisme kroni, industrialisasi berkembang sangat lamban. Borjuasi hanya mau menanamkan modal pada sektor yang cepat memberikan keuntungan. Mereka, melalui lisensi-lisensi birokrat politik, cukup memonopoli sektor-sektor tertentu saja dan mengabaikan sektor-sektor lain yang dianggap kurang menguntungkan. Industrialisasi yang lambat menghambat pula modernisasi, menghambat perkembangan kelas buruh.

***

Langkah yang diambil oleh Jokowi adalah sebagaimana yang disampaikan Marx dan Engels: "Borjuasi tidak dapat hidup tanpa senantiasa merevolusionerkan perkakas-perkakas produksi dan karenanya merevolusionerkan hubungan-hubungan produksi, dan dengan itu semuanya merevolusionerkan segenap hubungan dalam masyarakat." Guna menerapkan ini, Jokowi mencoba konsisten menjalankan kapitalisme yang lurus.

Baik itu infrastruktur jalan, pertanian, maupun lainnya, di Jawa maupun luar Jawa, merupakan urat nadi modal. Pengembangan transfer teknologi industri-industri manufaktur lewat teknologi maju merupakan upaya untuk memodernkan alat-alat produksi sehingga memaksimalkan akumulasi modal. Pembangunan smelter merupakan upaya agar peningkatan akumulasi modal bisa dinikmati oleh borjuasi  domestik, bukan borjuasi asing. Pembangunan IKN merupakan jalan agar industrialisasi dan modernisasi bisa merambah bumi Borneo; titik pusat modal tidak terpusat lagi di Jawa. Omnibus law merupakan regulasi agar modal masuk seperti melalui jalan tol, tanpa hambatan birokrasi sehingga efisiensi, akuntabilitas dan transparansi terjaga.

Jokowi memang pro kapitalisme liberal, namun ia tetap menjaga peran negara agar tetap kuat. BUMN didorong menjadi borjuasi negara yang kuat, dilibatkan dalam pembangunan-pembangunan infrastruktur dan proyek-proyek manufaktur. Keberadaan borjuasi negara untuk mengimbangi keberadaan borjuasi swasta domestik dan asing. Maka BUMN didorong semakin profesional agar tidak menjadi sapi perah partai-partai politik seperti masa sebelumnya. Ini tentu tidak disenangi oleh partai-partai politik seperti PDIP. Tak mengherankan kalau kesepakatan antara Megawati dan Ganjar, sebagaimana dilaporkan Majalah Tempo, pos menteri yang strategis seperti kementerian BUMN harus dipegang oleh Moncong Putih. Sementara itu, Jokowi malah memberikan kendali kepada profesional. 

Jokowi memang pro kapitalisme liberal, namun ia tidak menghapuskan subsidi penting dalam pendidikan, kesehatan, jaminan sosial maupun bahan bakar. Rakyat tidak ditinggalkan. Sebagai amanat, konstitusi negara wajib melindungi warganya, apalagi yang hidup dalam kemiskinan. Jalan Jokowi mengarah pada negara kesejahteraan seperti yang berkembang di Filandia, Swiss maupun Swedia. Jalan ini menempatkan negara, borjuasi dan proletariat dalam posisi sama kuatnya sehingga distribusi ekonomi bisa merata, subsidi terhadap sektor-sektor penting tetap ada dan demokrasi dijauhkan dari tangan-tangan oligarki.

Jokowi juga berusaha menghapus kronisme. Kasus korupsi Johnny G. Plate merupakan beroperasinya kapitalisme kroni zaman Orba. Birokrat politik yang duduk menjadi menteri memberikan lisensi terhadap proyek-proyek departemen. Atas lisensi yang diberikan itu, birokrat politik kemudian menuntut imbalan berupa persenan. Dari situlah ia memperkaya dirinya sendiri, kroni dan partainya. Kasus ini juga memperlihatkan bahwa upaya-upaya "pengkronian" semacam ini telah terjadi lintas partai. Berdasarkan laporan Majalah Tempo, korupsi BTS juga melibatkan suami Puan Maharani dan Sekjen PDIP. Hal-hal seperti inilah yang berupaya dibersihkan oleh Jokowi, salah satu jalannya adalah melalui UU Perampasan Aset. Tidak mengherankan jika Jokowi harus berbenturan dengan partainya sendiri.

Dengan situasi di atas, upaya cawe-cawe Jokowi merupakan konsekuensi logis dalam usahanya menjaga kapitalisme Indonesia tetap berada di relnya. Inilah pertarungan Jokowi yang sesungguhnya.***




Komentar

Postingan populer dari blog ini

SENJAKALA PDIP

Sepertinya PDIP sudah kesulitan membendung arus balik politik. Kanjeng Mami semakin ditinggalkan wong cilik. Oleh: Ragil Nugroho (Penikmat ikan koi) Aktivis tani era 90an yang pernah dicabut kumisnya oleh introgrator ketika tertangkap, Hari Gombloh, mengungkapkan bahwa pendukung Ganjar di tapal Kulonprogo tipis alias kecil. Padahal, beber warga Brosot ini, Kulonprogo merupakan salah satu kandang Banteng. Menurutnya, ini wajar karena Kulonprogo dekat dengan Wadas. Seperti kita tahu, selama beberapa tahun Wadas merupakan titik episentrum perlawanan terhadap Ganjar dan PDIP. Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, ada ungkapan, " Sadumuk bathuk sanyari bumi ". Ungkapan ini bermakna bahwa satu sentuhan pada dahi dan satu pengurangan ukuran atas tanah (bumi) selebar jari saja bisa dibayar, dibela dengan nyawa (pati). Bagi orang Jawa, tanah adalah kehormatan dan harga diri. Sebagaimana sentuhan pada dahi yang menurut orang Jawa adalah penghinaan, maka penyerobotan tanah walaupun han