Langsung ke konten utama

TERBAKARNYA KANDANG BANTENG DI DEPOK

Kaesang adalah medan pertarungan bagi PSI. Dalam medan ini PSI akan dilihat sebagai petarung atau pecundang ketika berhadapan dengan PDIP

Oleh: Ragil Nugroho (Mantan Redaktur Pembebasan)

Adalah suatu kewajaran bila Partai Keadilan Sejahtera (PKS) kalang kabut dengan manuver Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Selama hampir 20 tahun, PKS selalu menguasai Depok. Tak mengherankan ketika PSI hendak mengusung Kaesang, PKS langsung reaktif. Sebagai figur muda, Kaesang berhasil menjadi simbol kekuatan angkatan muda yang hendak mengubah wajah Depok yang terbelakang selama dikuasai PKS menjadi Depok yang modern. Tapi tiba-tiba terjadi keanehan. PKS yang bermain api, PDIP yang terbakar kandangnya. Ada apa ini?

Sikap PDIP mirip bocah kurang kreatif. Mereka tak mampu mengikuti perkembangan zaman dalam merespon perpolitikan kiniwari. Mungkin itu karena figur Ketua Umumnya yang semakin uzur, sementara orang-orang di sekitarnya cuma  AMS (Asal Mamak Senang). Akibatnya, ketika partai lain bermanuver, mereka langsung reaktif. Memang, kita tak bisa berharap banyak terhadap partai seperti PDIP yang jualannya hanya satu: ajaran Bung Karno tok. Mungkin, PDIP harus belajar dari toko oren yang berjualan mengikuti zaman sehingga disenangi banyak kalangan, tua-muda, emak-bapak, wong kuto, wong ndeso

Belum lagi hilang kepanikan PDIP ketika Gibran bertemu Prabowo, kini mereka kembali panik saat Kaesang diusung PSI menjadi calon walikota Depok. Tidak tanggung-tanggung, Puan sampai merasa harus turun tangan. Katanya, ia akan memanggil Kaesang. Belum lagi komentar menggelikan dari Djarot maupun Hasto. Mereka segera memasang pagar bahwa satu keluarga harus satu partai. Sediktator-diktatornya Soeharto, tidak pernah terdengar ia mengeluarkan ucapan selucu itu. Dari sini tampak jelas karakter asli PDIP. Partai ini semakin gila-gilaan ketika berkuasa. Bila tidak ada kekuatan yang mengimbangi, bisa-bisa PDIP akan berubah menjadi seperti Golkar pada zaman Orde Baru dulu.

Ada anggapan dari PDIP bahwa PSI sengaja mendompleng pada keluarga Jokowi. Ada pepatah di Jawa yang bilang, "Bila kau menunjuk orang lain, maka empat jarimu menunjuk dirimu sendiri." Pepatah itu persis seperti yang dilakukan PDIP. Barangkali PDIP lupa--jadi perlu diingatkan baik-baik agar ingatan yang karatan bisa normal kembali--kalau hampir 10 tahun PDIP membonceng pada ketenaran dan keberhasilan Jokowi. Meskipun Ketua Umumnya sering merendahkan Jokowi, namun merekalah yang mereguk keuntungan dari figur Jokowi. Kemampuan Jokowi dalam menggalang massa telah memberikan andil dalam menaikkan suara PDIP. Bisa dikatakan, PDIP tanpa Jokowi seperti wayang kehilangan gapitnya alias loyo tak berdaya.

Sampai saat ini upaya PDIP untuk mendompleng Jokowi semakin gila-gilaan. Calon presiden mereka, Ganjar, lebih mirip emoji avatar WhatsApp ala-ala fans berat Jokowi. Dibuat mirip Jokowi, tapi namanya Ganjar. Karakternya karakter epigon. Sebagai bukti, ia tak berani tampil sendiri tanpa membawa nama Jokowi. Ini berbeda dengan Jokowi dalam pentas politik Indonesia. Jokowi muncul dengan karakternya sendiri. Ia tak ingin tampil seperti Sukarno, Soeharto atau SBY. Ia muncul dengan jati dirinya sendiri. Selama kampanye Pilpres 2014 dan 2019, ia tak ingin tampil dan mendompleng kepada nama Megawati.

Munculnya nama Kaesang tak pelak lagi membuat PDIP segera mendompleng. Kaesang sudah muncul sejak dahulu kala dan PDIP tidak pernah menggubris anak buntut Jokowi yang satu ini. Kaesang dicuekin. Namun ketika ada PSI yang mengangkat nama Kaesang, PDIP langsung baper. Apalagi ternyata munculnya nama Kaesang mendapat sambutan yang meriah dari publik, mulai dari pelawak seperti Jarwo Kuat, Mandra hingga guru besar UI. Nama Kaesang mampu menjadi kekuatan baru yang diharapkan mampu mengubah wajah Depok. Kemunculan Kaesang ini persis seperti kemunculan Jokowi dalam Pilkada DKI. Maka ketika nama Kaesang melesat, PDIP segera mendaku sebagai miliknya.

(Foto: Pixabay)

PSI memang partai anak muda yang mulai merepotkan PDIP. Kemampuan PSI yang bisa menangkap peluang, egaliter dan tidak birokratis, menyebabkan partai ini bisa bergerak lincah. Tentu beda dengan PDIP yang untuk bisa bertemu dengan Ketua Umumnya saja susahnya setengah mati. Ibaratnya harus melalui 99 lapis pintu. Sebaliknya, PSI terbuka untuk siapa saja. Karakter anak muda yang gaul membuat PSI bisa tampil luwes dalam menghadapi dan mengambil peluang di setiap momentum politik. Masuknya tokoh muda dari kalangan Nahdliyin, seperti Gus Dhohir--menantu Gus Dur-- menambah warna kekinian pada tubuh PSI. Di belakang Gus Dhohir ada ratusan ribu anak-anak muda NU. Dalam konteks ini, PSI bisa menggabungkan kultur milenial dan kultur sarungan, kota dan desa, menjadi satu kekuatan baru dalam medan percaturan politik Indonesia. Bertemunya anak muda perkotaan dengan anak muda NU di pedesaan seperti botol ketemu tutupnya, saling melengkapi satu dengan lainnya.

Tak mengheran warna baru PSI bisa membuat PDIP sering kelimpungan. Terbakarnya kandang Banteng di Depok memperlihatkan PDIP partai yang lemah. Partai ini lebih sering bertindak reaksioner bila menghadapi manuver-manuver partai lain. Partai ini terkesan kuat hanya karena masih dalam posisi berkuasa. Jaring-jaring kekuasaan mereka masih kuat. Namun sebetulnya PDIP adalah raksasa berkaki lempung.

Memang, PSI belum mempunyai mental bertarung yang mumpuni bila berhadapan dengan PDIP. Masih ada ewuh pakewuh terhadap PDIP, bahkan harus buru-buru meminta maaf kepada Megawati. Kalau mental bertarung mereka kepada Megawati sama ketika bertarung dengan Anies Baswedan, atau bahkan lebih berani, maka partai ini mesti akan dilihat sebagai partai anak muda yang telah membuang mentalitas feodalnya. Bukan tidak mungkin suara anak muda yang hampir 50 persen dalam Pemilu 2024 akan berlabuh ke PSI. Tentu saja kuncinya harus punya nyali.  Kalau anak muda tak punya nyali, menyadur ucapan Pramoedya Ananta Toer, lebih baik jadi hewan ternak saja.

Karakter anak muda memang ugal-ugalan. Mereka berani menerobos dinding-dinding status quo. Bila anak muda tidak ugal-ugalan dan urakan, tidak mungkin dulu mereka bisa merobohkan kediktatoran Soeharto. Mereka berani turun ke jalan. Mereka garang berteriak "Gulingkan Soeharto!" Mereka berani berhadapan dengan bayonet tentara. Karakter seperti ini semestinya yang menjadi roh PSI.

Kaesang adalah medan pertarungan bagi PSI. Dalam medan ini, PSI akan dilihat sebagai petarung atau pecundang ketika berhadapan dengan PDIP. Momentum munculnya "Sang Menang" merupakan batu ujian bagi PSI untuk menunjukkan jati diri sebagai partai "yang berdiri sama tinggi, duduk sama rendah" ketika berhadapan dengan partai seperti PDIP. Tidak ada superioritas di sana.

Mampukah PSI membakar hingga rata kandang Banteng di Depok? Apakah PSI akan menjadi "Sang Menang" atau "Sang Pecundang"? Sejarah yang akan menuliskannya.***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SENJAKALA PDIP

Sepertinya PDIP sudah kesulitan membendung arus balik politik. Kanjeng Mami semakin ditinggalkan wong cilik. Oleh: Ragil Nugroho (Penikmat ikan koi) Aktivis tani era 90an yang pernah dicabut kumisnya oleh introgrator ketika tertangkap, Hari Gombloh, mengungkapkan bahwa pendukung Ganjar di tapal Kulonprogo tipis alias kecil. Padahal, beber warga Brosot ini, Kulonprogo merupakan salah satu kandang Banteng. Menurutnya, ini wajar karena Kulonprogo dekat dengan Wadas. Seperti kita tahu, selama beberapa tahun Wadas merupakan titik episentrum perlawanan terhadap Ganjar dan PDIP. Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, ada ungkapan, " Sadumuk bathuk sanyari bumi ". Ungkapan ini bermakna bahwa satu sentuhan pada dahi dan satu pengurangan ukuran atas tanah (bumi) selebar jari saja bisa dibayar, dibela dengan nyawa (pati). Bagi orang Jawa, tanah adalah kehormatan dan harga diri. Sebagaimana sentuhan pada dahi yang menurut orang Jawa adalah penghinaan, maka penyerobotan tanah walaupun han