Langsung ke konten utama

100 TAHUN DIPA NUSANTARA AIDIT

Yang penting dari Aidit adalah pelajaran tentang realisme politik. Politik yang tak was-was dengan situasi yang berubah ubah. 

Oleh: Ragil Nugroho (Bukan Mantan PRD)

Siapa nyana anak pemuka agama ini suatu hari menjadi ketua partai komunis terbesar ketiga di dunia. Siapa lagi kalau bukan Dipa Nusantara Aidit. Fotonya selalu tampil dengan rambut yang klimis. Tak memelihara kumis seperti Stalin, ia tampak lebih cocok sebagai intelektual dibandingkan pemimpin partai ploretariat. Tak jelas kapan nama Dipa Nusantara mulai ia sematkan untuk menggantikan kata Achmad di depan Aidit. Mungkin ia ingin tampil lebih nasionalis. 

Karl Marx ada benarnya, komunis adalah hantu. Sosok hantu adalah sosok yang ditakuti di malam hari. Sosok hantu juga digunakan untuk menakut-nakuti. Maka komunis selalu hadir dalam ruang cemas kehidupan manusia yang fana. Ia hadir untuk menjawab apakah sorga bisa hadir di muka bumi. Tentu tak mudah menjawab. Sejak sosialis utopis Saint-Simon, komune Paris, Manifesto Komunis, revolusi Rusia dan Tiongkok, kemunculan Kuba hingga Korea Utara. Dalam ruang cemas itu manusia terus mencari, juga di Indonesia.

Sejak abad ke-19, ketika Henk Sneevliet hadir dengan ISDV, komunisme hadir di bumi Indonesia. Sneevliet hadir dalam sosok Ter Haar di novel Anak Semua Bangsa karya Pramoedya Ananta Toer. Kepada Minke, Ter Haar berucap, "Biar begitu kemanusian tanpa pengetahuan tentang duduk soal kehidupannya sendiri di Hindia ini, bisa tersasar." Pengetahuan adalah sarana untuk menggali realitas. Dan realitas inilah yang menjadi landasan untuk memperjuangkan kemanusian. Sebab tanpa paham realitas (duduk perkara) maka akan membuat tersasar. Inilah realisme politik kaum komunis, dari SI Merah, Semaoen, Mas Marco, Haji Misbach, Musso sampai Dipa Nusantara Aidit. Mereka selalu berangkat dari realitas, materialisme historis dan materialisme dialektika dalam ajaran Marx. Di manapun dan kapanpun, realitas selalu berubah, tak dapat dibekukan seperti sebongkas es dalam kulkas. 

Aidit, begitu ia dikenal luas. Hingga kini namanya masih dicemaskan. Tapi di sini bukan soal itu yang akan diulas, tapi tentang kemahirannya membaca realitas politik semasanya. Ia membanting stir strategi taktik PKI dari yang dirumuskan seniornya, Alimin. Setelah mempelajari kondisi masyarakat Indonesia, ia memutuskan untuk membangun front persatuan nasional. Kebijakan ini segaris dengan kamerad-nya di Moskow, Stalin. Setelah kongres PKUS ke-19, Stalin menyerukan kaum komunis agar menempuh jalan baru, yaitu menggalang persatuan nasional dengan kelompok nasionalis dan nonkomunis.

Bila strategi taktik Aidit dijalankan hari ini, bisa saja ia akan dicap pengkhianat. Bagaimana tidak, ia bergandengan tangan dengan Sukarno. Seperti yang sudah tercatat, dalam Peristiwa Madiun 1948, Sukarno ikut mengeksekusi kawan-kawan Aidit seperti Musso dan Amir Sjahrifuddin, dan ratusan anggota PKI yang lain. Kalau Aidit hidup hari ini, ia akan dicap tidak memiliki hati nurani, melupakan sejarah, Kautsky si pengkhianat, dan lain sebagainya. Bila Aidit hidup hari ini, maka akan ada 87 orang menandatangani petisi mengutuk langkah politiknya. Bila Aidit hadir di dunia hari ini, akan ada puluhan orang membawa gambar Musso dan Amir dengan tulisan: kembalikan kawan kami. Aidit beruntung hidup di zaman lampau, ketika gerak politik tidak didasarkan pada romantisme, tapi pada realitas politik untuk menjawab problem rakyat. 


(Diambil dari buku Langkah Merah)

Zaman Aidit adalah zaman ketika politik tidak diganduli oleh khotbah-khotbah moral. Politik benar-benar hidup untuk menjawab problem saat itu, bukan untuk menerangjelaskan problem moral orang per orang. Tak mengherankan bila PKI begitu luwes dalam strategi taktik. Mereka ikut Pemilu. Mereka masuk ke dalam kekuasaan. Tak ada rasa was-was bahwa langkah politiknya akan dihadapkan pada pengadilan moral. Takkan ada konferensi pers dengan nada mengiba-iba dan penuh ironi untuk mengutuk langkah politiknya. Aidit patut bersyukur hidup di zaman yang waras. Bukan di zaman yang kenes dengan moralitas.

PKI memang partai yang paling rajin membangun persatuan nasional. Mereka tak alergi bekerjasama dengan siapa saja dalam membangun persatuan. Bahkan semasa penjajahan Jepang, mereka bekerjasama dengan Belanda. Namun hari ini persatuan nasional justru hendak ditelikung dengan berbagai dalih moral. Ditakut-takuti dengan bangkitnya fasisme. Sungguh membagongkan. Seolah-olah kita hidup di zaman Perang Dunia II. Padahal kita sudah hidup di zaman artificial intelligence atau AI, ketika otak manusia mulai digantikan oleh komputer. Mungkin mereka mengira, sejak zaman Adam sampai era Elon Musk, dunia beku, tak berubah.

Hari ini, 30 Juli, Aidit genap berusia 100 tahun. Tak ada peringatan dengan kembang api. Tak ada hiruk pikuk. Memang semua itu tak penting. Yang penting dari Aidit adalah pelajaran tentang realisme politik. Politik yang tak was-was dengan situasi yang berubah ubah.***







Komentar

Postingan populer dari blog ini

SENJAKALA PDIP

Sepertinya PDIP sudah kesulitan membendung arus balik politik. Kanjeng Mami semakin ditinggalkan wong cilik. Oleh: Ragil Nugroho (Penikmat ikan koi) Aktivis tani era 90an yang pernah dicabut kumisnya oleh introgrator ketika tertangkap, Hari Gombloh, mengungkapkan bahwa pendukung Ganjar di tapal Kulonprogo tipis alias kecil. Padahal, beber warga Brosot ini, Kulonprogo merupakan salah satu kandang Banteng. Menurutnya, ini wajar karena Kulonprogo dekat dengan Wadas. Seperti kita tahu, selama beberapa tahun Wadas merupakan titik episentrum perlawanan terhadap Ganjar dan PDIP. Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, ada ungkapan, " Sadumuk bathuk sanyari bumi ". Ungkapan ini bermakna bahwa satu sentuhan pada dahi dan satu pengurangan ukuran atas tanah (bumi) selebar jari saja bisa dibayar, dibela dengan nyawa (pati). Bagi orang Jawa, tanah adalah kehormatan dan harga diri. Sebagaimana sentuhan pada dahi yang menurut orang Jawa adalah penghinaan, maka penyerobotan tanah walaupun han