Hari ini, yang perlu kita waspadai adalah Politik Etis, penghisap bersarung tangan beludru, bukan realisme politik Budiman Sudjatmiko
Oleh: Ragil Nugroho (Aktivis 96)
Pertemuan Budiman Sudjatmiko dengan Prabowo Subianto memang benar-benar berhasil menyatukan. Dari pemilihara burung, kelompok liberal, anarko hingga kiri paling mentok, bersatu untuk menghujatnya. Mereka yang sudah tercerai berai, memanggul hidup masing-masing, bersatu untuk membikin maklumat mengutuk langkah politik Budiman. Mereka menggelar persamuhan suci setiap 5 tahun sekali, menjaga hati agar tak ternodai. Apakah kehebatan Budiman sehingga bisa mengguncang sedemikian rupa?
Padahal sebelum Budiman, ketua PRD mulai dari Faisol Reza, Haris Rusly Moti hingga Dita Sari, tidak hanya bertemu Prabowo, tapi mendukungnya, kok, seperti lagu Natal, Sunyi Senyap? Tidak ada kutukan bahwa mereka berkhianat. Tidak ada hujatan bahwa mereka berdiri di atas korban-korban penculikan. Dan khotbah-khotbah moral semacamnya. Begitu Budiman, yang sejauh ini sebatas bertemu Prabowo, langsung diharamkan, bahkan ada yang menyebutnya iblis.
Ada satu kisah sufi tentang seekor anjing. Suatu malam seorang sufi berpapasan dengan seekor anjing. Ia langsung mengangkat jubahnya agar tidak terkena jilatan anjing itu. Lantas anjing itu bertanya: "Mengapa kau angkat jubahmu, wahai sufi?" Sang sufi menjawab, "Agar tak kena najismu." Anjing itu berseloroh: "Najis karena liurku mudah kau bersihkan. Cukup kau bilas dengan air bercampur tanah sebanyak tujuh kali, akan hilang. Tapi, wahai sufi, najis di hatimu tak mudah kau bersihkan." Sufi itu terhenyak. Bahwa najis di hati itulah yang menyebabkan pandangan tak jernih dalam melihat liyan. Saya tak menyebut tak obyektif. Adakah yang obyektif di jagat raya ini? Bukankah semuanya hanya kontruksi dari subyek? Termasuk moralitas.
Sejarah bukan sebagai tembang kenangan yang harus diingat atau dilupakan. Setiap sejarah mempunyai konteksnya dan unsur penyusunnya masing-masing. Konteks sejarah masa lalu berbeda dengan konteks sejarah hari ini. Pun, unsur-unsurnya. Beda konteks tentu beda cara menghadapi. Beda unsur beda respon yang akan diambil. Seperti kacamata plus minus yang dipakai seseorang, ukurannya akan terus berubah sesuai zaman. Bila ukuran tak tepat, maka menyebabkan pandangan kabur dan kepala pening.
Lirik lagu Tommy J. Pisa bisa menggambarkan tentang sejarah :"Di batas kota ini ku menatap wajahmu/Perpisahan ini membuat luka di hati." Seperti kota, sejarah juga memiliki tapal batas. Kita bisa menatap masa lalu. Namun kita harus berpisah walaupun membuat luka di hati. Perjalanan harus berlanjut. Sejarah baru harus ditulis dan dieja. Kita tak bisa berhenti pada satu titik. Maka berdagang sejarah masa lalu yang beku, dan musiman pula, tak sesuai dengan zaman yang terus bergerak.
Oleh sebab itu, dibandingkan heboh moralitas seperti di atas, lebih menarik mendiskusikan strategi taktik Budiman tentang persatuan nasional sesuai konteks hari ini. Ketika Budiman membawa proposal persatuan, tentu ia tak bisa memagari dirinya bahwa kelompok ini yang diajak sementara kelompok si itu ditinggalkan. Tidak bisa tidak, semua kelompok harus diajak. Tak peduli dulu kawan maupun lawan. Yang menjadi ukuran adalah kesepakatan menerima garis politik persatuan dalam bingkai nasionalisme. Jangankan Prabowo, bahkan Habib Rizieq dan PKS pun harus diajak bila menerima tawaran membangun persatuan nasional.
Dalam membangun persatuan nasional, Prabowo memang harus diajak. Ia memiliki partai besar dengan garis nasionalis. Kekuatannya ini bisa menjadi tulangpungung persatuan nasional. Sebagai ketua partai besar, Prabowo merupakan satu jangkar untuk mempersatukan kekuatan politik yang ada. Inilah realisme politik hari ini. Suka tidak suka, Prabowo adalah magnet. Bahkan Prabowo juga menjadi magnet bagi kaum itu itu saja yang muncul setiap lima tahun sekali seolah sebagai Paus penjaga moral umat manusia.
Politik adalah tentang hari ini. Ia tak berangkat dari imajinasi. Ia berangkat dari yang ada, bukan yang diinginkan dan angankan. Namun kaum moralis berangkat dari manusia goa Plato. Mereka hanya berimajinasi dari bayangan, bukan dari realitas yang ada. Akibatnya, pandangan mereka selalu diganduli oleh romantisme. Sikap mereka tak beranjak dari perilaku kaum romantis abad ke-18. Mereka mengutuk kebrobrokan keadaan, namun tak mau bergerak untuk mengubahnya. Tangan mereka tak mau terkotori oleh najis-najis dari apa yang dikutuknya. Namun bila ada yang hendak mengubahnya, mereka paling depan mengeluarkan khotbah-khotbah moral. Mereka akan segera melakukan sidang moral terhadap siapa saja yang telah dianggap melakukan pengkhianatan. Ambil contoh kasus Victor da Costa beberapa waktu lalu.
Victor da Costa adalah salah satu kolega Budiman yang dipenjara di Cipinang. Dalam arus hidup selanjutnya, ia menjadi asisten Habiburokhman, anggota DPR dari Gerindra. Disidanglah Victor ( hal ini koyol tapi benar-benar terjadi untuk mengetahui betapa naifnya kaum moralis). Victor disidang karena menjadi bagian dari partai yang ketua umumnya dianggap menculik teman-teman mereka. Dalam sidang tersebut istri Victor mengajukan tanya: "Bila Victor tak boleh bergabung dengan Habib, apakah kalian mau memberi makanan kepada kami?" Semua kaum moralis yang hadir di situ, diam beribu bahasa. Tak mampu berkata-kata. Kaum moralis tak paham realisme, bahkan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka selalu asyik masyuk bersetubuh dengan imajinasi. Tak mau menjejak ke bumi. Mereka tak sanggup menghadapi kenyataan hidup sehingga melarikan diri ke dunia andaian. Inilah kontradiksi manusia-manusia etis. Pelanjut gagasan Politik Etis si Van Deventer.
Zaman bergerak. Tatanan global berubah cepat. Barat terus-menerus dipepet Rusia dan China. Episentrum kapitalisme mulai goyah. Negara-negara seperti Indonesia mulai menunjukkan kemandiriannya. Tak tergantung lagi pada Barat. Gagasan Jokowi ini justru sering ditelikung oleh para pelanjut Politik Etis yang selalu mengatasnamakan rakyat. Mereka justru bertepuk tangan jika hilirisasi nikel, misalnya, digugat oleh WTO sebagai wakil kapitalis Barat. Industrialisasi di Indonesia terus-menerus berusaha diganjal. Guna menghadapi intervenai Barat terhadap usaha mencapai kemandirian bangsa, realitas politik hari ini membutuhkan persatuan nasional. Melawan gempuran Barat tak dapat sendirian. Seperti pohon sengon, ia tak mudah patah tertepa angin ketika hidup bersama sengon-sengon yang lain dalam satu jajaran yang rapat.
Kini bukan zaman mabuk romantisme yang hanya memamah biak masa lalu. Kini zaman bergerak. Dunia telah berubah warna. Indonesia mencari bentuk barunya. Generasi telah berubah. Gen Z sebagai kelompok mayoritas pemilih memiliki cara berpikirnya sendiri. Mereka tak mau terus-menerus meramu dendam. Tinggal kita memilih berada di mana. Rekonsiliasi yang batu pondasinya telah diletakkan Jokowi harus dilanjutkan. Setiap sejarah, kata Hegel, selalu memiliki "bangku pembantaian." Inilah yang menyebabkan luka panjang harus disembuhkan, bukan malah terus-menerus dikucuri cuka agar terus menanah. Upaya yang dilakukan Budiman dalam rangka menyembuhkan luka itu. Ia ajak semua satu barisan dalam persatuan nasional. Siapa menolak untuk bersatu?
Hari ini, yang perlu kita waspadai adalah Politik Etis, penghisap bersarung tangan beludru, bukan realisme politik Budiman Sudjatmiko.***
Cakeppp.. Temans Maz Buds memang gelombang dinamika yang penuh warna. Kini sedang mengungkap isi hatinya. Meski diekspresikan dengan cara yang berbeda-beda. Misal, seorang Nezar. Bukan cuma ketemu Prabowo. Satu kabinet bahkan. Semua berlomba mengucapkan SELAMAT. AMANAH. Dan begitulah dinamikanya. Maz Anang Hermansyah bilang, “aku mah yezz”..
BalasHapusKalau aku mah apa atuhhh..
ya
HapusKok si joko yg jadi jagoannya? Tulisan yg aneh😁
BalasHapusopo to?
Hapus