PDIP begitu ketakutan bila ditingalkan Jokowi. Maka mereka begitu cemburu bila PSI dekat dengan Jokowi. Tanpa Jokowi, PDIP hanya onggokan kain rombeng di pojok sejarah.
Oleh: Ragil Nugroho (Petani Nanas)
"Ayo podo minggir
Enek banteng liwat
Batenge ora tau adus
Ambune koyo endog kuwuk."
("Ayo minggir semua
Ada banteng lewat
Bantengnya tidak pernah mandi
Baunya kayak telur busuk")
Entah lagu itu ciptaan siapa. Ia dinyanyikan ketika pawai Pemilu 1955, di kampung saya. PNI dengan tanda gambar banteng segitiga, mendapat ejekan seperti itu dari pendukung partai lain. Kini, PNI telah bersulih menjadi PDIP dengan simbol banteng moncong putih. Apakah "baunya masih kayak telur busuk?" Bila membaca pernyataan Deddy Sitorus selepas pertemuan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dengan Partai Gerindra, aroma busuk itu masih tercium, bahkan semakin menyengat.
Ada ungkapan Deddy Sitorus: "Kan selalu menyerang PDIP, menyerang Ganjar, ya walau dengan dibungkus 'kami sayang Ganjar', 'kami pilih Ganjar', that's bullshit, kedua numpang. Numpangin Pak Jokowi mulu kerjanya, sekarang numpangin Kaesang. Jadi ilmu PSI cuma 2, nyerang orang atau jadi benalu bagi orang lain, itu saja." (Detik.com, 02/08). Pernyataan Deddy ini seperti peribahasa lama: "Menepuk air di dulang, terpercik air sendiri," alias melempar taik kuda ke mukanya sendiri. Apa yang dituduhkan Deddy pada PSI, justru PDIP yang melakukannya.
Sejak PSI mulai mencalonkan Ganjar jauh-jauh hari sebelum PDIP, justru PDIP yang paling sibuk menyerang PSI. Pun, setelah mengusung Kaesang menjadi kandidat calon wali kota Depok. Serangan itu semakin bertubi-tubi. Sebagai mana sifat banteng, menyeruduk siapa saja yang tak sejalan. PSI sebagai partai anak muda yang berpikiran maju, tak mau tunduk pada langgam politik PDIP. Maka sebagai partai yang dibesarkan dalam lumpur feodalisme, PDIP semakin marah dengan "kebengalan" PSI. Banteng itu semakin mengamuk ketika PSI bersua Prabowo Subianto.
Bila berpaling pada Pemilu 2009, ditingkat DPRD, seperti Surabaya dan DKI Jakarta, banyak suara PDIP yang "dicuri" PSI. Tentu saja hal tersebut menimbulkan kekhawatiran bagi PDIP. Sebagai partai baru, PSI telah berhasil merebut suara pemilih dari kandang Banteng. Kekhawatiran PDIP semakin bertambah ketika PSI mulai membuka diri bagi kelompok lain masuk dalam partai. Bila sebelumnya dikenal sebagai partai menengah perkotaan, PSI mulai melebarkan sayap pada kaum Nahdliyin. Masuknya Dhohir Farizi--suami Yenny Wahid-- memberikan darah segar bagi PSI. Kini PSI telah masuk ke kalangan santri di desa-desa, tidak hanya berada di tengah kota. Tentu hal ini ancaman serius bagi PDIP.
Karakter PSI adalah egaliter. Darah daging PSI diisi oleh gerasi muda yang tak punya beban dengan masa lalu. Mereka berpolitik dengan cara baru. Dengan luwes, penuh kegembiraan, menggunakan semua saluran media sosial untuk menyampaikan gagasan-gagasannya. Para pengurusnya tampil modis sesuai trend generasi X sampai Z. Isu-isu yang mereka tawarkan seperti perampasan aset hingga mengorbitkan nama Kaesang, terbukti mampu menyedot perhatian publik. Hal ini tentu membingungkan bagi politikus semacam Deddy Sitorus yang selama ini hanya bermodal "menetek" kepada Mamak Banteng. Sehingga, ia kelimpungan dengan manuver-manuver PSI, termasuk ketika bertemu Prabowo. Dalam benak Deddy, mungkin, terpantik: "Jancuk. Kok bisa sekeren itu manuver PSI."
Partai politik bertemu dengan partai politik yang lain adalah hal biasa-biasa saja. Bila 1000 kali PSI bertemu dengan Prabowo, itu wajar-wajar saja. PSI memang berbeda dengan PDIP yang selalu memasang pagar tinggi-tinggi terhadap partai lain. Selama ini politik PDIP adalah eklusifitas, merasa paling besar dan berkuasa, sehingga memperlakukan partai lain dengan semena-mena. Bagi PDIP, semua harus sendhiko dawuh kepada Mamak Banteng. Tak ada yang berani melawan. Persis gerombolan domba yang hanya bisa mengembik. Hanya Jokowi satu-satunya kader PDIP yang tidak tunduk patuh kepada Ibu Ketua. Kalau Jokowi takluk, betapa amburadulnya negeri ini seperti ketika Megawati menjadi presiden.
PSI tidak seperti PDIP yang numpangi nama Sukarno. PSI selama ini tampil inovatif dan kreatif. Gagasanya segar dan gue banget. Berani mengkritik dan berani menerima kritikan. Giring, misalnya, bisa menjawab kritikan Panji dengan guyonan. Sarkasme dijawab dengan sarkasme, bukan dengan muka melotot. Sementara itu, sudah diketahui secara luas, PDIP selama ini selalu berjualan nama Sukarno. Ganjar Pranowo, misalnya, membacakan Dedication of Life' Soekarno di hari puncak Peringatan Bulan Bung Karno, Sabtu (23/6/2023). Mengapa tidak membaca Dedication of Life' Megawati, misalnya? Karena tanpa nama Sukarno, PDIP hanyalah banteng tanpa tanduk. Demi kepentingan elektoral, Sukarno diprivatisasi oleh PDIP. Bahkan untuk menolak Piala Dunia U20, baik Ganjar maupun PDIP harus membawa-bawa nama Sukarno. Tanpa Sukarno rupanya mereka tak memiliki kepercayaan diri. Sungguh membagongkan.
Kemandiran inilah yang tak dipunyai PDIP. Mereka tak mampu menampilkan gagasannya sendiri. PDIP hanya diisi oleh otak-otak yang membeku, yang hanya bisa jongkok dan menyembah ketua umumnya. Program-program PDIP hanyalah kaset lama tentang wong cilik. Sementara kader-kadernya terlibat korupsi menggasak uang wong cilik. Dengan begitu, kehancuran kandang Banteng tinggal menunggu sabda alam.
PDIP begitu ketakutan bila ditingalkan Jokowi. Maka mereka begitu cemburu bila PSI dekat dengan Jokowi. Tanpa Jokowi, PDIP hanya onggokan kain rombeng di pojok sejarah.***
Komentar
Posting Komentar