Langsung ke konten utama

OFENSIF PDIP TERHADAP PSI

Demoralisasi karena 'tondo-tondo' tadi, Puan Maharani mencoba melunak. Batang lehernya yang selama ini kaku ketika berhadapan dengan PSI, mulai melemas. Ia mencoba tak tampil mendongak lagi. Maka ia membuka pintu untuk bertemu dengan PSI.

Oleh: Ragil Nugroho

Menurut KBBI ofensif berarti "serangan; bersikap menyerang; bersifat menyinggung perasaan orang lain (biasanya melalui kata-kata)." Itulah yang dilakukan PDIP pasca PSI bertemu Prabowo Subianto. Pertemuan menjelang senja itu ternyata membuat tensi darah PDIP meningkat tajam. 

Mulai dari Deddy Sitorus, Panda Nababan, hingga caleg PDIP, Bonnie Triyana, bersikap ofensif terhadap langkah PSI. Kemaluan Banteng seperti ditendang setelah PSI bertemu Prabowo. Ada apa dengan PDIP? 

Sikap ofensif ini sebetulnya bentuk kepanikan. Pamor Ganjar Pranowo sebagai capres PDIP semakin meredup. Sejak penolakan Piala Dunia U 20, berbagai lembaga survei mencatat, elektabilitas Ganjar semakin merosot. Sementara Prabowo semakin moncer. 

Kehadiran Ganjar ini berkebalikan dengan kemunculan Jokowi, 9 tahun lalu. Kemunculan Jokowi memang seperti Satria Piningit, mencorong tajam sebagai sosok yang ditunggu-tunggu. Sejak kemunculan di sebagai Wali Kota Solo, pamornya semakin bersinar. Surveinya semakin naik dari waktu ke waktu. Baik ditinjau dari segi mistis maupun ilmiah, Jokowi tak terkalahkan. Semua itu pada akhirnya terbukti. 

Bila Jokowi selalu dinaungi kartu Joker, kemunculan Ganjar seperti kutukan Calon Arang. Semesta tidak mestakung. Langkah-langkahnya seperti menggali liang kuburnya sendiri. Mulai dari pernyataannya tentang film porno, piala dunia, salat di masjid UGM sewaktu kuliah sampai baju kampanyenya, diledek oleh publik. Jokowi disambut dengan antusias ketika muncul dengan baju kotak-kotak. Namun ketika Ganjar memakai baju kampanye hitam putih, dicemooh sebagai selimut rumah sakit, zebra cross, dan yang paling parah, disamakan dengan seragam penjara Nazi. Sepertinya kutukan ibu-ibu di Wadas dan Kendeng masih membayangi setiap langkah Ganjar. 

Mencalonkan Ganjar, PDIP seperti memegang kartu mati. Acara-acara Ganjar tidak ada yang menjadi pembicaraan publik. Kegiatannya monoton dari lari ke lari. Ia hendak tampil atraktif, tapi malah terkesan seperti pertunjukan topeng monyet. Upaya Butet Kartaredjasa untuk menyucikan Ganjar lewat puisi norak itu, gagal total. Butet bukan Wiji Thukul. Butet tampil karena pesanan, bukan dari nurani. Tak mengherankan kalau Ganjar justru disucikan dengan air comberan, bukan mata air nurani. Butet mau tampil seperti Mas Willy (WS Rendra) namun tak punya kejujuran. Tak mengherankan kalau setelah disucikan Butet, Ganjar justru menjadi bulan-bulanan. 

Politik adalah bagaimana memanfaatkan peluang. PSI pernah mencoba peluang dengan mencalonkan Ganjar. Bahkan yang pertama. Namun peluang itu dirasakan makin tertutup. Sementara waktu tak bisa ditahan. Tak, tik, tak, tik...terus melaju. Langkah lain harus dipilih. Bertemu dengan Prabowo adalah mencoba peluang lain. Gayung bersambut. Prabowo membuka diri. Ia bertandang ke kantor PSI di Tanah Abang. Akankah PSI menutup diri seperti PDIP? Tentu tidak. PSI bukan partai yang dikelola oleh dendam. PSI mencoba luwes terhadap segala kemungkinan. Inilah yang tak dipahami Guntur Romli. Ia dibesarkan di lingkungan LSM yang membuatnya lembek. Maka ia memilih keluar dari PSI dengan membawa nostalgia masa lalu. 

Di luar semua itu, yang membuat PDIP semakin ofensif adalah ucapan Grace Natalie. Kata "tondo-tondo" yang terlontar dari bibir Grace mengenai ulu hati Banteng. Kata "tondo"/tanda ini sakral dalam budaya Jawa. Hanya Joyoboyo maupun Ronggowarsito yang bisa membaca "tondo-tondo" zaman. Ketika Grace berucap, "Tapi akhirnya ini sudah makin kelihatan tondo-tondonya, kira-kira begitu," maka ia melumpuhkan mental PDIP. Yang dimaksud Grace tentu tanda dari Presiden Jokowi tentang siapa calon presiden yang akan didukung. 

Ucapan Grace itu membuat naik pitam PDIP. Apalagi sebelumnya Budiman Sudjatmiko juga bertemu dengan Prabowo. Sebelumnya lagi Gibran menjamu Prabowo juga. Semakin teranglah "tondo-tondo" yang diucapkan Grace itu semakin terang benderang. Di tengah ketidaksolidan internal partai mengenai pencalonan Ganjar sehingga muncul rumor pencalonannya akan dievaluasi, mendengar ucapan Grace, PDIP seperti terkena palu Thor. 

Demoralisasi karena "tondo-tondo" tadi, Puan Maharani mencoba melunak. Batang lehernya yang selama ini kaku ketika berhadapan dengan PSI, mulai melemas. Ia mencoba tak tampil mendongak lagi. Maka ia membuka pintu untuk bertemu dengan PSI. Ganjar pun tak tampil cengengesan lagi. Ia tak lagi menyebut PSI sebagai PSSI. Mungkin ia trauma dengan PSSI yang hampir menjungkirkan dirinya. Mengomentari pertemuan PSI dengan Prabowo, Ganjar memberikan komentar normatif. Tak songong lagi. 

PDIP memang kesulitan bila tidak dinanungi Dewi Fortuna. Maka Mega 3 kali kalah dalam Pilpres. Sekarang senjata sakti Adian Napitupulu juga sudah tumpul. Kader-kader PDIP yang lain memukul tanpa arah. Hasto hanya menjadi lawan tanding Anies. Tidak ada gegap gempita menyambut pencapresan Ganjar. Rupanya cakramanggilingan sudah mulai bergerak. Yang dulu di atas gantian di bawah. Bintang Saturnus tak mengayomi lagi.

Tanda-tanda senjakala itu semakin terlihat. PDIP tinggal banteng tua yang terseok-seok jalannya menuju pemakaman. ***


Komentar

  1. Bisa jadi ya... Banteng itu tidak muda dan perkasa lagi ...

    BalasHapus
  2. Banteng ada..Banten
    Usir gw mau hidup tenang

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

SENJAKALA PDIP

Sepertinya PDIP sudah kesulitan membendung arus balik politik. Kanjeng Mami semakin ditinggalkan wong cilik. Oleh: Ragil Nugroho (Penikmat ikan koi) Aktivis tani era 90an yang pernah dicabut kumisnya oleh introgrator ketika tertangkap, Hari Gombloh, mengungkapkan bahwa pendukung Ganjar di tapal Kulonprogo tipis alias kecil. Padahal, beber warga Brosot ini, Kulonprogo merupakan salah satu kandang Banteng. Menurutnya, ini wajar karena Kulonprogo dekat dengan Wadas. Seperti kita tahu, selama beberapa tahun Wadas merupakan titik episentrum perlawanan terhadap Ganjar dan PDIP. Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, ada ungkapan, " Sadumuk bathuk sanyari bumi ". Ungkapan ini bermakna bahwa satu sentuhan pada dahi dan satu pengurangan ukuran atas tanah (bumi) selebar jari saja bisa dibayar, dibela dengan nyawa (pati). Bagi orang Jawa, tanah adalah kehormatan dan harga diri. Sebagaimana sentuhan pada dahi yang menurut orang Jawa adalah penghinaan, maka penyerobotan tanah walaupun han