Langsung ke konten utama

KEDIKTATORAN PDIP (Tanggapan untuk Airlangga Pribadi)

"Airlangga Pribadi memang sedang melempar kotoran ke wajahnya sendiri. Sok sebagai seorang psikolog ia mengatakan ada split personality dalam tubuh PSI. Padahal terpampang jelas bahwa yang mengalami spit personality justru partai yang dipujanya, memakai embel-embel kata demokrasi tetapi tunduk patuh kepada segala kehendak Megawati."

Oleh: Ragil Nugroho (Pencemooh Berhati Lembut)

Ada bangkai Banteng di pelupuk mata tak tampak, PSI di seberang samudera tampak. Itulah istilah yang pas untuk Airlangga Pribadi. Sebagai pendukung fanatik Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), ia tak melihat bangkai Banteng di depan matanya. Airlangga Pribadi merupakan  intelektual tukang yang memposisikan diri sebagai tukang gebuk rival politik PDIP dengan berbungkus pengetahuan. Tentu saja hal ini memalukan bagi Universitas Airlangga.

Rupanya ada kemajuan di PDIP. Kalau sebelumnya menggebuk PSI lewat simpatisan-simpatisan seperti Deddy Sitorus, Panda Nababan, dan lain-lain, sekarang sudah memakai jasa intelektual tukang seperti Airlangga Pribadi. Dosen Universitas Arilangga ini semacam intelektual zaman Nazi yang memakai analisa pseudo ilmiah untuk melegitimasi kekuasaan. Sementara Airlangga Pribadi menggunakannya untuk memfitnah lawan politik PDIP.

Prof. Dr (HC). Hj. Diah Permata Megawati Setiawati Soekarnoputri atau orang banyak sering menyebutnya "Mamak Banteng" menjadi Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia dari 22 Januari 1993 sampai 27 Juli 1996. Selepas itu ia menjadi Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sejak tahun 1999 sampai detik ini. Bila bapaknya, Sukarno, mengangkat dirinya sebagai presiden seumur hidup, Megawati tak mau kalah, mengangkat dirinya sebagai ketua umum partai seumur hidup. Total perhari ini ia menjadi ketua umum selama 27 tahun. Soeharto, sang diktator, tidak pernah menjadi ketua umum partai. Ini partai yang ada kata "demokrasi", ketua partainya tidak pernah berganti selama 27 tahun. Diktator mana yang bisa menandinginya? Hanya partai otoriter yang ketua partainya bisa menjabat lama.

Hanya di PDIP, suara Megawati adalah suara partai. Partai Golkar yang pernah jadi penopang kekuasan Orde Baru pun, kini lebih demokratis dibandingkan PDIP. Selain ketua umumnya ganti satu periode jabatan, suara ketua umum bukan representasi suara partai. Seperti yang kita ketahui, sering terjadi dinamika politik di Partai Golkar. Sangat berbeda dengan PDIP. Bila Megawati menangis, maķa seluruh kader PDIP harus ikut menangis. Bila Megawati menyalak, kader dari pusat sampai anak ranting harus menyalak. Tidak boleh berbeda dengan Megawati. Tidak ada satupun mekanisme partai yang bisa melawan kehendak Megawati. Seorang Hasto akan mencret-mencret bila melihat Megawati memberengut ketika menatapnya.  Sementara Airlangga Pribadi akan tidak bisa tidur tidur tujuh hari tujuh malam ketika Megawati tersenyum kepadanya. Bahkan seorang Ganjar Pranowo rela menjadi boneka Megawati. Mungkin satu-satunya yang tidak tunduk kepada Megawati adalah wong Solo bernama Joko Widodo. Sebagai pendukung garis merah jambu PDIP, mungkin Airlangga sedang rabun senja sehingga tidak melihat semua itu. Anehnya, tanpa babibu, ia justru menggonggongi Partai Solidaritas Indonesia (PSI).

Airlangga Pribadi memang sedang melempar kotoran ke wajahnya sendiri. Sok sebagai seorang psikolog ia mengatakan ada split personality dalam tubuh PSI. Padahal terpampang jelas bahwa yang mengalami spit personality justru partai yang dipujanya, memakai embel-embel kata demokrasi tetapi tunduk patuh kepada segala kehendak Megawati. Berwacana sebagai partai wong cilik namun nyata-nyata mendukung Oligarki. Dalam kasus terbaru di Pulau Rempang yang sedang ditindas oleh Oligarki, misalnya, tak ada suara tangis PDIP sebagai bentuk simpati dan empati kepada rakyat. Pun, dalam kasus Wadas dan Kendeng yang dilindas oleh Oligarki yang didukung Ganjar Pranowo, PDIP diam seribu bahasa. Terhadap persekusi terhadap Rocky Gerung, PDIP justru jejingkrak kegirangan. Mereka bilang pro pemberantasan korupsi, namun mengusung caleg koruptor dan justru memusuhi PSI yang memperjuangkan UU Perampasan Aset. 

Maka terhadap split personality PDIP ini, sastrawan terbesar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, pernah mengatakan, "Megawati tak pernah menghidangkan secangkir teh pahit kepada PRD." Padahal PRD membela mati-matian PDIP dalam Perisiwa 27 Juli 1996 sehingga Budiman Sudjatmiko cs diterungku oleh rezim Orde Baru. Pramoedya ingin mengatakan, PDIP dan Megawati adalah partai yang tidak pernah punya empati. Hanya menjual wong cilik sebagai komoditi politik. Hanya berwacana demokrasi namun dalam prateknya tunduk kepada kediktatoran Megawati. Bisa saja mata Airlangga Pribadi buta sehingga tak melihat semua itu. Atau kalau tidak buta, mungkin Airlangga adalah penyembah sekte Megawati. 

Tapi kita harus melihat wajar gonggongan Airlangga Pribadi terhadap PSI. Selama ini PSI dianggap sebagai pengganggu nomor satu PDIP. Maka dengan enteng Airlangga melemparkan fitnah terhadap PSI. Saking keblablasan memfitnah PSI yang terjadi  justru ia membuka kediktatoran PDIP. Dengan percaya diri Airlangga bahwa, "Ini terkait Ketua Dewan Pembina PSI dapat merangkap berbagai jabatan sebagai Ketua Umum, Sekjen, Ketua Dewan Pertimbangan Nasional, Ketua Dewan Pakar Nasional dan DPP. Artinya apa? Dalam kelembagaan internal jejak otoritarianisme warisan Orde Baru tampak melekat dalam partai tersebut,” sebetulnya ini jelas-jelas ditunjukkan kepada Ibu Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Megawati bukan sekadar ketua umum dan tidak perlu jabatan-jabatan seperti Ketua Dewan Pembina, Ketua Dewan Pakar dan lain sebagainya, karena Megawatilah pemilik saham tunggal PDIP. Tak ada suara di PDIP selain suara Megawati. Namun, sebagai seorang intelektual tukang, Airlangga Pribadi tidak akan berani mengkritik langsung Megawati dan PDIP, sehingga ia harus melipir terlebih dahulu dengan seolah-olah mengkritik PSI.

Kita patut mengucapkan beribu-ribu terima kasih kepada Airlangga Pribadi. Lewat fitnahnya terhadap PSI kita menjadi tahu watak kediktatoran PDIP. Kita patut mengalungi Airlangga Pribadi dengan bunga melati, berkat fitnahnya terhadap PSI ia membuka kedok PDIP yang sebenar-benarnya. Dan kita jadi tahu yang mengalami split personality bukan PSI melainkan Airlangga Pribadi sendiri.***

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

SENJAKALA PDIP

Sepertinya PDIP sudah kesulitan membendung arus balik politik. Kanjeng Mami semakin ditinggalkan wong cilik. Oleh: Ragil Nugroho (Penikmat ikan koi) Aktivis tani era 90an yang pernah dicabut kumisnya oleh introgrator ketika tertangkap, Hari Gombloh, mengungkapkan bahwa pendukung Ganjar di tapal Kulonprogo tipis alias kecil. Padahal, beber warga Brosot ini, Kulonprogo merupakan salah satu kandang Banteng. Menurutnya, ini wajar karena Kulonprogo dekat dengan Wadas. Seperti kita tahu, selama beberapa tahun Wadas merupakan titik episentrum perlawanan terhadap Ganjar dan PDIP. Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, ada ungkapan, " Sadumuk bathuk sanyari bumi ". Ungkapan ini bermakna bahwa satu sentuhan pada dahi dan satu pengurangan ukuran atas tanah (bumi) selebar jari saja bisa dibayar, dibela dengan nyawa (pati). Bagi orang Jawa, tanah adalah kehormatan dan harga diri. Sebagaimana sentuhan pada dahi yang menurut orang Jawa adalah penghinaan, maka penyerobotan tanah walaupun han