Langsung ke konten utama

SETELAH KAESANG: JALAN BARU POLITIK INDONESIA

Bila kita mencermati pidato Kaesang setelah dikukuhkan sebagai Ketum PSI, maka peta jalan politik Indonesia akan berubah. Kaesang mencerminkan pemimpin muda yang santai, tidak konservatif, tidak feodal dan tidak formalistik.

Oleh: Ragil Nugroho (Pengumpul Koper)

Pada usia 20 tahun, Semaoen menjadi ketua partai. Bila diukur sekarang, ia masih belia. Bila diukur dari kerja-kerja organisasi, ia sudah tertempa. Saat usianya 14 tahun, ia sudah bergabung dengan Serikat Islam. Lantas menjadi bagian ISDV hingga menjadi Ketua Partai Komunis Indonesia yang pertama. Jadi, usia muda bukan penghalang seseorang menjadi ketua partai.

Munculnya Kaesang Pangarep menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) merupakan kejadian yang biasa. Di masa lampau, ketua partai relatif masih muda usianya. Seperti Semaoen contohnya. Fidel Castro memimpin revolusi bersenjata usia 33 tahun. Itu bukan penghalang, malah berdampak positif karena vitalitas yang dimiliki. 

Saat ini, munculnya tokoh-tokoh muda dalam politik merupakan konsekuensi dari perkembangan kapitalisme Indonesia. Bisa dikatakan sebagai pertanda munculnya benih-benih borjuasi baru. Kelahirannya memang masih perlu diuji, apakah bisa berkembang menjadi borjuasi yang tangguh atau sekadar borjuasi yang bisa berkembang karena menyusu pada kekuasaan.

Borjuasi generasi program Benteng zaman Soekarno sudah digantikan. Generasi Liem Sioe Liong, Hasjim Ning, Bob Hasan, dan lain-lain sudah mengalami regenerasi. Sebagian dilanjutkan anak cucunya, sebagian muncul borjuasi baru.  Reformasi 1998 memberikan kesempatan kepada borjuasi baru muncul.  Jeffrie Geovanie, misalnya, merupakan borjuasi baru yang muncul pasca Orde Baru. Hubungan antara borjuasi dan partai politik merupakan sesuatu yang wajar. Maka tak mengherankan kalau borjuasi baru seperti Jeffrie Geovanie bergabung dengan berbagai partai politik, awalnya dengan Golkar lantas dengan PSI.

Kaesang Pangarep merupakan generasi borjuasi lebih baru lagi. Ia bagian dari generasi milenial yang tumbuh menjadi borjuasi di masa Jokowi. Bila bapaknya, Jokowi, tumbuh dari borjuasi furniture, Kaesang, sebagaimana segenerasinya, lebih memilih usaha kuliner, starup dan youtuber. Lewat bisnisnya tersebut Kaesang memilik kekayaan sebesar Rp 92,2 miliar. Sementara kekayaan Jokowi Rp 63 miliar, lebih kecil bila dibandingkan Kaesang. Tak mengherankan bila Kaesang masuk  dalam 40 daftar Tokoh Muda Berpengaruh di Indonesia versi Fortune 2023. Dengan bisnis dan kekayaan seperti itu wajar kalau Kaesang masuk dalam politik. 

Richard Robinson dalam bukunya Indonesia: The Rice of Capital, menguraikan hubungan negara dengan kapital. Menurutnya, negara mengatur kebijakan publik (fiskal, moneter dan hukum). Oleh karena itu, negara mengambil peranan penting dalam menentukan usaha-usaha yang memiliki prospek bagus atau tidak. Dan, seperti kita ketahui bahwa seluruh kebijakan negara dalam negara demokrasi ditentukan oleh pemerintah dan DPR. Dalam lanskap seperti ini tak mengherankan kalau pemilik modal semecam Surya Paloh dan Harry Tanoe mendirikan partai. Para borjuasi ini akan berusaha merumuskan kebijakan lewat parlemen yang bisa menguntungkan kepentingan bisnis mereka. Semua itu wajar-wajar saja karena secara esensial negara (eksekutif, legislatif dan yudikatif) menurut Lenin adalah alat borjuasi untuk menjaga dan memuluskan kepentingannya guna melakukan akumulasi modal sebesar-besarnya.

Sementara partai lain, seperti PDIP dan Golkar, merupakan wadah dari borjuasi yang sudah solid. Sebagian dari mereka adalah borjuasi lama yang kemudian bergabung dengan borjuasi baru. Tak mengherankan kalau posisi mereka di perpolitikan sudah kuat. Ditambah Gerindra serta Demokrat, PDIP dan Golkar merupakan kumpulan dari borjuasi "sekuler". Sementara borjuasi Islam berkumpul dalam partai seperti PAN, PPP, PKB hingga PKS. 

Pilihan Kaesang sudah tepat. Bila ia bergabung dengan partai-partai yang sudah mapan, walaupun anak seorang presiden, posisinya akan sulit bersaing dengan borjuasi-borjuasi lama. Sementara PSI merupakan partai yang kekuatan borjuasinya masih relatif baru, masih berusaha untuk mengkonsolidasikan diri. Dengan kondisi seperti itu, maka posisi Kaesang bisa kuat. Pertama, ia bisa menjadi magnet elektoral. Posisinya sebagai anak presiden yang memiliki jaringan relawan yang kokoh dan wakil kaum muda, Kaesang bisa menyedot pemilih muda. Jumlah pemilih ini sangat besar. Siapa saja yang bisa mengeruk suara mereka akan mendapatkan efek elektoral yang signifikan.

Kedua, ia bisa mengkonsolidasikan borjuasi baru. Posisinya sebagai borjuasi baru dengan jaringan yang luas, Kaesang bisa mengajak borjuasi baru lain untuk menyokong PSI. Borjuasi baru ini membutuhkan kapal politik yang kuat untuk bersaing maupun bersanding dengan borjuasi lama. Posisi Kaesang bisa menjadi jaminan bagi borjuasi baru untuk bergabung dengan kapal PSI.

Bila selama ini gerbong borjuasi di PSI yang "sekuler" dan Muhammadiyah dibawa oleh Jeffrie Geovanie, sementara borjuasi NU dibawa Dhohir Farizi, masuknya Kaesang tentu akan membawa gerbong baru yang lain. Dengan begitu PSI akan mendapatkan modal kapital yang semakin jumbo. Bila masing-masing gerbong membawa koper-koper 10 truk kontainer, maka masuknya Kaesang jumlah truk kontainernya bisa berlipat 10 kali. Artinya, koper-koper yang dimiliki juga akan berlipat ganda. Dalam demokrasi liberal seperti sekarang, peranan kapital sangat penting bagi partai politik. Tanpa itu nasibnya akan sama dengan Partai Rakyat Demokratik (PRD)di Pemilu 1999, memiliki modal politik namun tidak memiliki modal kapital sehingga tak mampu mewarnai perpolitikan. Akibatnya, anggotanya harus hijrah kepartai lain.

Ketiga, ketika Kaesang menjadi Ketum PSI maka partai Mawar ini akan memiliki "daya jual" yang lebih dihadapan partai-partai lain. Ketua partai lain tak bisa sembarangan lagi ketika menyambut Kaesang dengan PSI-nya. Ketika masuk dalam koalisi, posisi PSI akan diperhitungkan, bukan sekadar dianggap sebagai pelengkap semata. Megawati sekalipun tidak akan bisa semena-mena ketika berhadapan dengan Kaesang. Dengan kata lain, ibarat keris, pamor PSI memancar semakin kuat.

Bila kita mencermati pidato Kaesang setelah dikukuhkan sebagai Ketum PSI, maka peta jalan politik Indonesia akan berubah. Kaesang mencerminkan pemimpin muda yang santai, tidak konservatif, tidak feodal dan tidak formalistik. Ia menyampaikan pidato politiknya dengan santai, seperti mengisi acara podcast, diselingi dengan gesture kekinian dan celetukan-celetukan mencairkan suasana. Jauh sekali, misalnya, dengan gaya Megawati dalam berpidato. Dengan begitu, Kaesang bisa menjadi simbol politik kaum muda vs politik kaum tua. Dalam diri Kaesang tercermin bahwa politik tidak harus dengan urat leher yang menonjol. Politik bisa dibawakan dengan santai, luwes, dengan guyonan tanpa mengurasi subtansi politik yang ditawarkan. Politik yang tidak menakutkan inilah akan bisa menarik kaum muda untuk bergabung.

Penampilan Kaesang sangat natural bagi generasi milineal, gen X maupun Z karena memang bagian dari mereka. Berbeda dengan Ganjar, Anies atau Muhaimin yang seringkali terlihat koyol karena memaksakan diri untuk tampil muda. Mereka bagian dari generasi tua, yang napas, gaya hidup, bahasa hingga selera makan serta musiknya sudah berbeda jauh dengan anak-anak muda masa kini. Bila memakai lagu Arie Wibowo, mereka makan singkong, sementara anak muda Indonesia makan keju. Dalam hal ini, posisi Kaesang sangat diuntungkan karena bagian generasi pemakan keju.

Sebagai gambaran, bisa kita lihat bagaimana perbedaan generasi akan sangat berbeda dalam mengelola podcast. Kita ambil contoh di PSI sendiri. Bila kita melihat podcast Helmi Yahya, Akbar Faizal, Ade Armando, sangat berbeda dengan Kaesang. Podcast tiga nama tersebut, dikelola sangat kaku dan terkesan serius. Podcast  semacam itu tidak akan menarik bagi kaum muda apalagi yang belum tertarik politik. Sementara podcast Kaesang ditampilkan dengan santai, dibumbui sarkasme-sarkasme tepi jurang. Seorang Prabowo, jendral lapangan, yang sudah terkenal dengan formalitasnya, bisa tampil culun di podcast Kaesang berkat kepiawaian pengelolanya dalam membangun suasana. Tak mengherankan kalau dalam waktu singkat bisa ditonton oleh jutaan pemirsa. Podcast seperti yang dikelola Kaesang inilah yang digemari anak muda karena sesuai dengan selera, bahasa, dan pemampilan yang gue banget.  Kenyataan ini memberikan gambaran bahwa kaum muda memiliki cara dan gaya sendiri dalam mengelola segala hal, termasuk politik. 

Munculnya Kaesang akan memunculkan jalan baru politik Indonesia. Peta politik akan berubah. Perubahan tersebut akan mendorong perubahan formulasi borjuasi Indonesia. Pun, akan menjadi tonggak munculnya borjuasi muda dalam pentas politik Indonesia.***





Komentar

Postingan populer dari blog ini

SENJAKALA PDIP

Sepertinya PDIP sudah kesulitan membendung arus balik politik. Kanjeng Mami semakin ditinggalkan wong cilik. Oleh: Ragil Nugroho (Penikmat ikan koi) Aktivis tani era 90an yang pernah dicabut kumisnya oleh introgrator ketika tertangkap, Hari Gombloh, mengungkapkan bahwa pendukung Ganjar di tapal Kulonprogo tipis alias kecil. Padahal, beber warga Brosot ini, Kulonprogo merupakan salah satu kandang Banteng. Menurutnya, ini wajar karena Kulonprogo dekat dengan Wadas. Seperti kita tahu, selama beberapa tahun Wadas merupakan titik episentrum perlawanan terhadap Ganjar dan PDIP. Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, ada ungkapan, " Sadumuk bathuk sanyari bumi ". Ungkapan ini bermakna bahwa satu sentuhan pada dahi dan satu pengurangan ukuran atas tanah (bumi) selebar jari saja bisa dibayar, dibela dengan nyawa (pati). Bagi orang Jawa, tanah adalah kehormatan dan harga diri. Sebagaimana sentuhan pada dahi yang menurut orang Jawa adalah penghinaan, maka penyerobotan tanah walaupun han