Langsung ke konten utama

SURAT TERBUKA KEPADA PSI TUA

Generasimu telah gagal menjadi manusia. Kau penyokong kekuasaan yang berdarah-darah. Lantas sekarang kau bicara moralitas politik seperti seorang petapa. Kau bicara seperti mpu yang berbicara nilai-nilai masa lalu.

Oleh: Ragil Nugroho

Pak Goen,

Tidak sepertimu, aku bukan pendukung Jokowi. Aku pikir, dukunganmu kepada Jokowi bukan hal luar biasa. Sudah menjadi karaktermu sedari muda, siapa yang berkuasa kau dukung. Hanya Sukarno yang kau hempaskan. Sejak muda kau memang tidak suka kepada mereka yang revolusioner. Maka kau bergabung dengan Manikebu. Kau tak suka dengan PKI yang revolusioner. Maka kau bersama yang lain ikut menguburnya. Benar, kata Pramoedya Ananta Toer, "Goenawan Mohamad adalah bagian dari Orde Baru". Maka dengan tegas Pram tidak percaya kepadamu.

Kau memang selalu mencari posisi yang aman. Orde Baru yang berdiri di atas jutaan bangkai orang-orang PKI dan simpatisannya, kau dukung. Tak ada kerisihan bagimu. Apakah itu bentuk humanisme universal yang kau dewakan dalam Minikebumu? Kau dengan sukarela menjadi anggota CCF, organisasi kebudayaan yang disokong oleh CIA untuk memukul sesama seniman yang beraliran kiri. Kau tak pernah risih, Pak Goen. 

Telah pula menjadi tabiatmu, ketika sebuah kekuasaan mulai oleng atau memasuki usia senja, kau akan segera meninggalkannya. Ketika Orde Baru mau roboh, kau segera menyeberang. Kau mulai bergabung dengan mereka yang melawan Orde Baru. Kau kemudian menulis obituari, bahwa dirimu terlibat dalam perjuangan bawah tanah melawan Soeharto. Kau mulai meninggalkan Soeharto bukan karena dia diktator, tapi karena aset usahamu mulai diganggu. Tempomu dibredel. Tentu kau tak mau karam.

Aku ingat, kau juga mendukung Gus Dur. Kau puji-puji ia sebagai seorang demokrat. Tapi ketika Gus Dur oleng, kau juga meninggalkannya. Kau selalu mempunyai pembenaran untuk meninggalkan jagoan yang pernah kau dukung. Kau selalu punya dalih untuk memunggungi yang kau dukung. Maka ketika kau mulai meninggalkan Jokowi, itu bukan hal yang luar biasa. Itu sudah tabiatmu. Seperti orang-orang PSI (Partai Sosialis Indonesia) lainnya, kau memang seorang opurtunis tulen. Kau tak ingin tanganmu kotor. Kau hanya ingin menikmati anggur dan rembulan sembari membeberkan jasa-jasamu. 

Di masa tuamu kau mulai gemetar ketika anak-anak muda menuntut haknya. Kau ketakutan kalau mereka mengambil peranan. Kau katakan Gibran naik menjadi wali kota secara tidak wajar karena dia anak Jokowi. Kau bilang Jokowi memberikan perlakuan khusus kepada anak-anaknya. Sepertinya kau Narcissus yang terpana dengan rupamu sendiri setelah mengaca di air. Apakah anakmu yang tiba-tiba bisa menguasai Jawa Pos Grup dengan menyingkirkan Dahlan Iskan sesuatu yang wajar? Apakah kau tidak memberikan perlakuan khusus kepada anakmu yang masih hijau dalam bisnis media untuk berkuasa? Apakau kau tidak seperti Soeharto yang memberikan kemudahan bisnis kepada anak-anaknya? 

Pak Goen, kau sepertinya lebih machiavellis dibanding Machiavelli. Kau pakai jalan apa saja agar dirimu aman. Bahkan kau nyaman berada dalam perlindungan Soeharto yang telah memegal ribuan kepala dengan orang-orang komunis. Generasimu telah gagal menjadi manusia. Kau penyokong kekuasaan yang berdarah-darah. Lantas sekarang kau bicara moralitas politik seperti seorang petapa. Kau bicara seperti mpu yang berbicara nilai-nilai masa lalu.

Anak-anak muda Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menggugat usia presiden dan wakil presiden lewat jalan yang disediakan demokrasi liberal. Gibran maju sebagai wali kota juga lewat jalan demokrasi liberal. Kau sebagai penyokong demokrasi liberal sejak Manikebumu itu, sekarang justru kau ketakutan dengan anak-anak muda yang menempuh jalanmu. Mereka sekarang justru di jalanmu, bikin partai, mau ikut pilkada, bukan jalan Marx, Lanin atau Mao yang amat kau benci itu. Tapi justru kau gemetar dengan kehadiran anak-anak muda itu. Tapi wajar, sebagai agen CCF binaan CIA kau tak biasa bertarung, kau terbiasa membuat konspirasi, kasak-kusuk dan mencari jalan aman. Cara-cara konspiratif ini kau tuduhkan kepada Gibran seolah-seolah ada kekuatan dengan bermilyar-milyar dan tipu muslihat untuk memuluskan jalanmu. Bukankah cara-cara seperti itu yang sering kau lakukan bersama CCF dan CIAmu guna menyingkirkan siapa saja yang kau anggap sebagai lawab, Pak Goen? Kau tuduh anak-anak muda sehina dirimu. 

Gibran dan anak-anak muda lainnya tidak seperti dirimu. Mereka tidak pernah menjadi bagian dari generasi yang mendukung kekuasaan yang berdarah-darah sepertimu. Mereka tidak menukar harga diri dengan menjadi anggota CCF binaan CIA seperti dirimu. Mereka anak-anak muda yang mencoba berjalan di jalan demokrasi. Tapi kau justru risau. Mungkin dalam perjalanmu yang memasuki senjakala, kau iri dengan mereka karena di masa mudamu kau justru dengan suka cita menjadi kaki tangan imperialis dan kapalisme yang berdarah-darah. 

Pak Goen, sebagai bukan pendukung Jokowi, aku tidak cemas. Jokowi, Gibran dan anak-anak muda lainnya berada di jalan yang benar. Di rel demokrasi yang benar. Di lintasan kapitalisme yang benar. Ada harapan di sana karena generasimu yang tumbuh dalam kubangan darah akan segara pupus.*** 


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

SENJAKALA PDIP

Sepertinya PDIP sudah kesulitan membendung arus balik politik. Kanjeng Mami semakin ditinggalkan wong cilik. Oleh: Ragil Nugroho (Penikmat ikan koi) Aktivis tani era 90an yang pernah dicabut kumisnya oleh introgrator ketika tertangkap, Hari Gombloh, mengungkapkan bahwa pendukung Ganjar di tapal Kulonprogo tipis alias kecil. Padahal, beber warga Brosot ini, Kulonprogo merupakan salah satu kandang Banteng. Menurutnya, ini wajar karena Kulonprogo dekat dengan Wadas. Seperti kita tahu, selama beberapa tahun Wadas merupakan titik episentrum perlawanan terhadap Ganjar dan PDIP. Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, ada ungkapan, " Sadumuk bathuk sanyari bumi ". Ungkapan ini bermakna bahwa satu sentuhan pada dahi dan satu pengurangan ukuran atas tanah (bumi) selebar jari saja bisa dibayar, dibela dengan nyawa (pati). Bagi orang Jawa, tanah adalah kehormatan dan harga diri. Sebagaimana sentuhan pada dahi yang menurut orang Jawa adalah penghinaan, maka penyerobotan tanah walaupun han