Langsung ke konten utama

SURAT TERBUKA UNTUK BUTET KARTAREDJASA

Bapa kami yang di sorga, Dikuduskanlah nama-Mu, datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga. Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami; dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan, tetapi lepaskanlah kami dari pada yang jahat.

Oleh: Ragil Nugroho

Begini, Tet,
Kau orang Jawa, tapi watakmu Londo: tukang adu domba. Kau Katolik, tapi karaktermu Yudas: culas. Kau pembenci Prabowo, tapi meminjam tangan Jokowi. Sedari awal kau sudah menjadi abdi Ganjar. Kau ejek Prabowo dan Anies dengan topeng seniman mediokermu itu. Kau mengaku pejuang reformasi hanya berbekal menirukan suara Soeharto, itupun kau baru berani lakukan setelah Soeharto dikepung mahasiswa.

Sebagai abdi Ganjar kau punya hak memenangkan tuanmu. Tapi kau pengecut. Kalau berlindung di balik Jokowi. Kau mengiba agar Jokowi menyelamatkan demokrasi. Seolah-olah kau Kristus yang bermoral kudus. Padahal moralmu moral makelar. Menjadi makelar Ganjar agar menang. Kau seolah sedang berupaya menyelamatkan negeri ini. Padahal kau hanya mau menyelamatkan Ganjar dari kekalahan. Kaulah pecundang sebenarnya.

Prabowo yang kau benci itu telah menempuh jalan demokrasi. Dia bikin partai. Dia berjuang dari Pemilu ke Pemilu. Dia kalah berkali-kali. Jokowi mengajaknya bergabung dalam kabinetnya. Jokowi paham, persatuan itu penting dalam membangun negeri ini. Mereka yang pernah bertarung, bersatu. Kau bungkam ketika Jokowi mengajak Prabowo gabung. Sekarang mereka telah bersatu, dan kau mengadu dombanya.

Tet, kau persis kompeni, tak mau melihat bangsa ini bersatu. Kau berjoget di atas pepercahan. Apa kau mau Jokowi sepertimu tuanmu, Megawati, yang terus-menerus memeram dendam terhadap SBY? Jokowi bukan tipe seperti itu. Apa Jokowi harus seperti dirimu yang terus-menerus memusuhi Emha Ainun Najib? Jokowi yang diejek saja dengan tulus menjenguk Emha. Jokowi tak memiliki karakter busuk seperti dirimu, Tet.

Kau busuk, menggunakan Jokowi sebagai tameng. Kau sebelas dua belas dengan Goenawan Mohamad: bertopeng demokrasi. Sebagai seniman medioker, karakter pengecutmu memang wajar. Kau tak pernah bertarung di tengah. Kau, sebagaimana Goenawan Mohamad penikmat demokrasi yang diperjuangan anak-anak muda. Kau mengambil riba dari mereka.

Kau sah berusaha agar Prabowo tidak menang. Tapi caramu licik. Kau berdalih atas nama masa depan bangsa. Kau ketakutan kalau Gibran berpasangan dengan Prabowo. Ketakutanmu bukan karena takut Jokowi dihujat membangun dinasti politik, tapi takut karena Ganjar bisa tersungkur. Moralitasmu hanya morilitas karbitan. Wajahmu bertopeng kepalsuan.


Kalau seperti katamu rakyat tidak bodoh, kenapa kau cemas? Dalam demokrasi liberal, rakyat bebas menentukan suaranya di bilik suara. Kalau mereka tak suka dengan Prabowo, bisa memilih calonmu. Kalau rakyat tidak bodoh, kau tak perlu berlindung di balik Jokowi. Bila rakyat tak bodoh, kau katakan dengan lantang jangan pilih Prabowo, pilih jagoanku. Tapi kau belagak seperti yang paling bermoral padahal hanya untuk menutupi keciutan nyalimu dalam pertarungan bebas demokrasi liberal. Masamu telah surut. Ini masa anak-anak muda. 

Putusan MK mungkin tak sesuai harapanmu, maka kau galau. Maka beberapa jam setelah putusan MK, Ganjar pergi ke rumahmu. Mungkin untuk menghiburnya. Mungkin untuk berbagi kesedihan denganmu. Mungkin saling bercerita tentang duka lara. Demokrasi liberal memang seperti itu, Tet, bisa melukai dirimu. Kalau kau pejuang demokrasi, tentu kau paham. Tapi kau cuma penonton, maka kau heboh sendiri begitu tersakiti. Sudah biasa bila penonton lebih heroik dibandingkan dengan para pemain. Dan itulah dirimu.

Berhentilah berlindung di balik Jokowi. Tunjukkan diri sebagai Banteng sejati. Katakan pada seluruh dunia bahwa kau siap berkorban raga dan nyawa demi Ganjar, tanpa bayaran. Bacakan dengan latang puisimu bahwa kau tak butuh Jokowi.

Sembari menunggu durian jatuh, aku teringat doa ini, Tet:

"Bapa kami yang di sorga, Dikuduskanlah nama-Mu, datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga. Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami; dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan, tetapi lepaskanlah kami dari pada yang jahat."

Angkat wajahmu, Tet. Kepalkan tinjumu ke angkasa. Berteriaklah selantang geledek: "kami dalam suka dan duka bersama Ganjar."

Wis wayahe, Tet. 
Salam untuk BG, Tet.






Komentar

  1. saiki ajeh wong seneng nunut, Prabowo arep nunut kasil lan nunut menang, manawa GRR gelem dadi wapres dia. Butet iku kerja keras lumayan ngaya olehe mbangun kesuksesan sebagai seniman, mungkin ada jalan dia yg kurang bersih, biasa manusia. Tapi sebagian terbesar jalannya wajar, tak cacad berkhianat. Sekarang Butet sudah seterkenal seniman besar, itu syah saja. Tentu lalu banyak yang mau ndompleng ikut-ikutan tenar bersamanya. Tidak seperti orang tolol itu yg menembak John Lennon agar bisa ikut terkenal. Sederhana dan manusiawi saja, membuat Surat Terbuka memaki Butet, seolah dia politikus culas yang wajib ditelanjangi. Lha Butet itu paham politik saja cuma apa adanya sesuai kebutuhannya yg sedikìt pada politik. Ngapain ngantem Butet. Kalau pengin kerengan ya antem saja Jusuf Kala, Luhut, Prabowo, Anies, dll. Bukan Butet, hehehe.... sok pahlawan banget sih....

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

SENJAKALA PDIP

Sepertinya PDIP sudah kesulitan membendung arus balik politik. Kanjeng Mami semakin ditinggalkan wong cilik. Oleh: Ragil Nugroho (Penikmat ikan koi) Aktivis tani era 90an yang pernah dicabut kumisnya oleh introgrator ketika tertangkap, Hari Gombloh, mengungkapkan bahwa pendukung Ganjar di tapal Kulonprogo tipis alias kecil. Padahal, beber warga Brosot ini, Kulonprogo merupakan salah satu kandang Banteng. Menurutnya, ini wajar karena Kulonprogo dekat dengan Wadas. Seperti kita tahu, selama beberapa tahun Wadas merupakan titik episentrum perlawanan terhadap Ganjar dan PDIP. Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, ada ungkapan, " Sadumuk bathuk sanyari bumi ". Ungkapan ini bermakna bahwa satu sentuhan pada dahi dan satu pengurangan ukuran atas tanah (bumi) selebar jari saja bisa dibayar, dibela dengan nyawa (pati). Bagi orang Jawa, tanah adalah kehormatan dan harga diri. Sebagaimana sentuhan pada dahi yang menurut orang Jawa adalah penghinaan, maka penyerobotan tanah walaupun han