Langsung ke konten utama

BARISAN PERSATUAN NASIONAL UNTUK INDONESIA MAJU

Seorang negarawan yang berhasil haruslah juga seorang panglima yang mumpuni. Begitulah pemikiran Machiavelli tentang sosok pemimpin yang ideal. Fungsi negarawan dan panglima adalah sama: memimpin. Dan seorang pemimpin bertugas menyatukan yang berserak menjadi satu dalam ikatan kebangsaan.

Akar Persatuan

Sejarah bangsa Indonesia adalah sejarah persatuan. Kita bisa berangkat dari Sumpah Pemuda. Sejak semula para pemuda dan pemudi sudah menyadari bahwa persatuan adalah kunci bagi bangsa Indonesia. Mengaku bertanah air, berbangsa dan berbahasa "satu": Indonesia. Kata dasar persatuan adalah "satu". Maka penyair Chairil Anwar mengatakan "kita satu dzat satu urat" sebagai sebuah bangsa.

Sudah berabad-abad lamanya, persatuan sudah menjadi semacam kata kunci dalam perjalanan bangsa Indonesia. Anak desa bernama Ken Arok, menyatukan pemeluk Hindu dan Budha. Sementara pujangga Majapahit, Mpu Tantular mengentalkan makna persatuan dalam kalimat Bhineka Tunggal Ika, kita berbeda tapi kita satu. Sejak semula nenek moyang kita sadar bahwa persatuan merupakan batu pondasi untuk membangun peradaban bangsa kita. Sebagaimana batu, bentuk dan ukurannya berbeda-beda, namun bila sudah disatukan dalam pondasi akan menjadi kesatuan yang kokoh dan utuh.

Bangsa kita mendapatkan anugerah perbedaan. Terletak di antara persimpangan perdagangan dunia, bangsa kita menyerap berbagai perbedaan untuk membangun peradaban bangsa. Kita sudah terbiasa dengan perbedaan. Dan kita terus berproses untuk menjadi satu. Sejak Singasari sampai Mapajahit, konsep yang ingin dibangun adalah persatuan. Patih Gajah Mada dengan Sumpah Palapa hendak menyatukan Nusantara. Proses ini terus dilanjutkan oleh angkatan-angkatan selanjutnya, hingga hari ini.

Kolonialisme Belanda memang memecah belah kita. Bumi Mataram dibelah menjadi Kesultanan dan Kesunanan. Kerajaan-kerajaan diadu domba agar tak bersatu. Masyarakat dibelah menjadi Eropa, Timur Asing dan Pribumi. Namun, di sisi lain, kolonialiame Belanda menyatukan Nusantara lewat kapitalisme. Corak produksi kapitalisme dicangkokan Belanda di Nusantara dengan membangun infrastruktur-infrastrukturnya. Awalnya lewat jalan Anyer-Panarukan yang menyatukan Pulau Jawa dalam satu kesatuan ekonomi politik, lantas lewat rel-rel kereta api berbarengan dengan pembangunan perkebunan tebu, kopi, karet, teh dan lain sebagainya. Pabrik-pabrik gula mulai berdiri dibarengi lahirnya kaum proletar dan masuknya modal Belanda. 

Kapitalisme menyatukan cikal bakal bangsa Indonesia. Lewat Pax Nerderlandica, Belanda mengubah corak produksi feodal menjadi kapitalis, menyatukan wilayah Indonesia baik lewat perjanjian maupun penaklukan militer, maka benih-benih negara kesatuan sudah ditanam. Inilah titik balik bagi perjalanan bangsa Indonesia.

Kapitalisme juga melahirkan sekolah. Anak-anak pribumi mulai belajar baca tulis. Ada Kartini,  Tirto, Tjokro, Semaoen, Soetomo hingga Sukarno. Mereka mulai mengenal dunia. Dari sekolah rakyat, ELS, HBS sampai Stovia, anak-anak pribumi mulai muncul kesadaran nasional untuk menjadi bangsa merdeka. Maka munculah Serikat Prijaji, Serikat Dagang Islam, Serikat Islam, Budi Utomo dan lain sebagainya, sebagai organisasi yang berusaha untuk menyatukan bangsa Indonesia. Bermuara pada Sumpah Pemuda, persatuan itu diikat dalam Pancasila kemudian dimasukkan sila Persatuan Indonesia. 

Kegagalan Persatuan Pasca Kemerdekaan

Selepas merdeka, kita masih mencari bentuk. Ideologi baik itu kapitalisme, sosialisme maupun agama dipilih. Itu semua tercermin dalam Pemilu 1955. Empat besar hasil Pemilu, Masyumi, NU, PNI dan PKI memperlihatkan spektrum ideologi yang dominan ketika itu. Semua itu dibarengi oleh kabinet yang jatuh bangun sehingga situasi politik terus memanas, sementara ekonomi keteteran. 

Sukarno lantas membacakan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, kembali ke UUD 1945. Kemudian mengumumkan Demokrasi Terpimpin, terpimpin dalam politik, ekonomi dan sosial budaya. Partai-partai yang berbeda kemudian diwadahi dalam NASAKOM. Era parlementer ditinggalkan. 

Upaya-upaya yang dilakukan Sukarno bertujuan untuk menyatukan. Ia sadar pertentangan politik yang terus-menerus menghambat pertumbuhan ekonomi. Ia melihat setelah program Benteng yang memberikan kesempatan pada borjuasi pribumi untuk mengelola modal yang awalnya dikuasai Belanda, belum menunjukkan hasil.

Sukarno melihat tidak muncul borjuasi nasional yang tangguh. Salah satu faktornya kerena politik tidak stabil sehingga upaya untuk membangun kapitalisme Indonesia terseok-seok. Maka Demokrasi Terpimpin dan NASAKOM ia pilih, mencoba keluar dari lingkaran setan pertentangan politik yang tak ada ujung pangkal.  

Sukarno lebih oleng ke kiri. Dalam situasi Perang Dingin tentu membuat gerah kubu kanan/kapitalis. Maka Indonesia ajang pertarungan antara Blok Timur dan Blok Barat. Usaha Indonesia menjadi Non Blok dianggap upaya menyatukan negara-negara untuk melawan dominasi Barat.

Namun upaya-upaya Sukarno itu kandas di tengah jalan ketika Peristiwa 1965 pecah. Penggantinya, Suharto ingin memilih jalan lain:kapitalisme militeristik. Yaitu, kapitalisme yang ditopang oleh angkatan bersenjata. Ia mulai getol memasukkan modal asing, memangkas partai-partai politik hingga tersisa tiga. Golkar sebagai partai penguasa ditempatkan di tengah, sementara dua kekuatan opisisi, PDI di posisi kiri dan PPP di posisi kanan. 

Semasa Soeharto politik memang stabil, borjuasi mulai berkembang, pembangunan dijalankan lewat GBHN dan Repelita. Soeharto berhasil menyatukan borjuasi pribumi dalam genggamannya. Inilah yang mendorong munculnya KKN. Borjuasi pribumi hidup dari menyusu kekuasaan, bukan berkembang sendiri. Akibatnya, ketika dihantam krisis ekonomi 1997-1998 mereka rontok bersamaan dengan rontoknya Orde Baru. 

Masuklah kita ke kapitalisme neoliberal. Peranan negara harus dipangkas. Negara hanya berperan sebagai wasit, biarkan borjuasi berkembang sendiri, biarkan partai politik berkembang, biarkan modal asing masuk. Silakan bertarung secara bebas. Subsidi harus dihapus. Privatisasi harus dilakukan. Pemilu digelar secara bebas. Situasi politik mulai stabil. Ekonomi mulai membaik. 

Borjuasi lama mulai bangkit, borjuasi baru mulai bermunculan. Namun ini belum cukup. Setiap ganti partai penguasa akan ganti kebijakan sesuai dengan kepentingan borjuasi yang mendukung. Akibatnya, pembangunan tidak berkelanjutan. Tidak ada panduan pembangunan untuk 45 tahun ke depan, misalnya. Kalaupun ada panduan itu hanya menjadi dokumen di atas kertas karena partai penguasa yang baru merumuskan panduannya sendiri sesuai dengan kepentingan ekonomi dan politik mereka. Bila hal semacam ini diteruskan maka pembangunan akan tersendat-sendat. Oleh karena itu perlu dipikirkan jalan baru. 

Jalan Baru Persatuan Nasional

Kita bisa belajar dari Malaysia bagaimana membangun sistem politik yang kuat. Tahun 1973, Teuku Abdul Razak membuat terobosan. Sebagai Presiden Organisasi Kebangsaan Melayu Bersatu (UMNO) mengajak partai lain menjalin koalisi. Ia tak mau berkuasa sendirian. Maka dibentuklah Barisan Nasional (BN).  Selain UMNO, BN beranggotakan Persatuan Tionghoa Malaysia, Kongres India Malaysia, Partai Bersatu Rakyat Sabah dan beberapa partai lainnya. 

Apa yang menarik dari BN adalah koalisi yang dibentuk. Koalisi yang mereka bentuk bukan koalisi lima tahunan menjelang Pemilu, namun koalisi permanen. Mereka menjalin koalisi jangka panjang, bukan koalisi pragmatis demi kepentingan Pilpres, Pileg maupun Pilkada. Dengan koalisi permanen ini, mereka bisa merumuskan program jangka panjang untuk Malaysia. Artinya, pembangunan di Malaysia terjamin kelanjutannya. Dengan begitu, program pembangunan tidak tambal sulam. BN bisa berkuasa selama 35 tahun. Seperti Orde Baru, kekuasaan BN runtuh karena korupsi elit partainya. 

Eksperimen yang dilakukan BN relatif berhasil. Perdana Menteri terlama BN, Mahathir Mohamad yang berkuasa kurang lebih 20 tahun, mampu meletakkan dasar pembangunan Malaysia yang kokoh. Sebagai koalisi pro pemerintah, BN juga mampu menjaga stabilitas politik sehingga Malaysia bisa fokus membangun. Kapitalisme bisa berkembang relatif baik. Borjuasi nasional Malaysia tumbuh, sementara borjuasi negara seperti Petronas mampu menjadi pemain dunia. Bila pada tahun 70-an Malaysia belajar dari Indonesia dalam membangun bangsanya, kini sudah mampu melampaui gurunya.

Di negara-negara kapitalisme yang maju, partai politik memang sudah mengental. Di Amerika, hanya ada Partai Republik dan Demokrat. Di Inggris dan Australia, Partai Konsevartatif dan Buruh. Di Prancis ada Partai Sosialis dan Republik. Semakin maju kapitalismenya, partai yang ada semakin sedikit jumlahnya. Borjuasi semakin menyadari jumlah partai yang sedikit memudahkan mereka untuk melakukan konsolidasi. Pertarungan politik tidak berlarut-larut sehingga tidak menguras pundi-pundi mereka. Pilpres cukup satu putaran saja, setelah itu segera fokus membangun. 

Di Indonesia perlu dilakukan perubahan paradigma koalisi. Selama ini koalisi pragmatis kurang efektif dalam rangka konsolidasi borjuasi Indonesia. Koalisi semacam itu hanya akan menjadi koalisi kutu loncat. Oleh karena itu, sekarang perlu dirumuskan suatu koalisi yang permanen. Partai-partai di parlemen perlu memikirkan koalisi semacam Barisan Nasional di Malaysia. 

Mungkin kamarnya bisa meniru pada masa Orde Baru. Partai politik tengah membentuk Barisan Persatuan Nasional, sementara partai "kiri" seperti PDIP menjadi opisisi kiri, dan partai "kanan" seperti PKS bisa menjadi opisisi kanan. Dengan komposisi semacam ini diharapkan partai politik semakin kokoh dengan posisi ideologinya masing-masing. Apabila terbentuk, fenomena lompat pagar parpol dalam koalisi akan terhindari. 

Koalisi Barisan Persatuan Nasional ini tentu bukan semata-mata untuk kepentingan Pilpres semata, namun juga kepentingan Pilkada. Sehingga koalisi tidak hanya terjadi di pemerintah pusat dan DPR RI, namun sampai daerah-daerah. Maka koalisi Barisan Persatuan Nasional berstruktur dari pusat sampai daerah. Dengan struktur seperti itu maka stabilitas politik bisa terjaga dan pragmatisme bisa dihindari. 

Jokowi Sebagai Jangkar

Presiden Jokowi bisa menjadi jangkar untuk mewujudkan Barisan Persatuan Nasional. Menjelang masa keprisidennya berakhir, kepercayaan publik terhadap Jokowi masih 80%. Ditingkat internasional, Jokowi juga merupakan presiden yang paling dipercaya publik. Ini menggambarkan Jokowi masih memiliki pengaruh yang besar di akhir masa jabatannya. Kenyataan menarik dalam demokrasi liberal. Seorang pemimpin negara tidak memasuki masa "bebek lumpuh". Ia tetap menjadi magnet dan jangkar politik.

Dulu Mahathir Mohamad dijuluki "Sukarno kecil" karena keberaniannya menentang Barat. Ketika koleganya di Indonesia, Suharto, tumbang karena krisis ekonomi, Mahathir tetap berdiri kokoh. Sementara Jokowi mirip Lee Kuan Yeu, "bapak kapitalisme" Singapura. Lee adalah peletak dasar dan kemajuan kapitalisme Singapura. Kita tahu, sekarang Singapura adalah negara kapitalis paling maju di Asia Tenggara, padahal mereka tidak memiliki kekayaan alam yang melimpah seperti Indonesia. 

"Seperti Israel kami harus melompati tempat-tempat lain di kawasan dan menarik perusahaan-perusahaan internasional," kata Lee. Ia menerapkan gabungan antara kapitalisme negara dan swasta. Ia menjalin kerjasama dengan Tiongkok. Ia bersahabat baik dengan Deng Xiaoping, tokoh reformasi Tiongkok setelah era Mao Zedong. 

Dalam upaya membangun kapitalisme Singapura, Lee menempuh jalan pemberantasan korupsi, rumah murah serta program industrialisasi untuk menciptakan lapangan kerja. Jokowi juga menempuh jalan serupa. Ia kuatkan kapitalisme negara lewat BUMN sembari memberikan kesempatan kepada borjuasi nasional untuk berperan. Ia membuat UU Onibus Law untuk efesiensi agar perkembangan kapitalisme tak terhambat oleh berbagai regulasi, bisa melancarkan investasi, baik dalam negeri maupun asing.

Jokowi membangun infrastruktur untuk mendorong industrialisasi tidak hanya di Jawa. Ia canangkan hilirisasi untuk meningkatkan daya jual sumber daya alam sembari membangun industri nasional yang akan membuka lapangan kerja yang besar. Ia bekerjasama dengan Tiongkok dalam investasi industri-industri modern. Ia pindahkan ibu kota ke Kalimantan agar modal tidak terkonsentrasi di Jawa.

Arsitektur kapitalisme yang dirancang Jokowi akan membawa Indonesia menjadi negara kapitalisme modern, bukan lagi kapitalisme asongan yang hanya menjual lisensi dan barang mentah murah. Kapitalisme yang disokong oleh negara yang kuat, borjuasi yang tangguh, industrialisi modern, pemerintah yang efektif dan efisien, korupsi yang dilibas. 

Setelah tidak menjabat, Jokowi masih memiliki potensi pengaruh politik seperti Mahathir dan Lee. Ia bisa menjadi pemersatu kekuatan politik yang ada di Indonesia. Peran untuk menciptakan politik yang stabil sehingga arsitektur kapitalisme yang telah ia rancang dapat dipastiskan pengerjaannya dengan baik. Jokowi memiliki kemampuan membentuk Barisan Persatuan Nasional. Partai-partai politik selain PDIP dan PKS yang selama ini setia mendukungnya bisa menjadi elemen dari Barisan Persatuan Nasional. 

Mengapa PDIP tidak diajak? Partai ini terlahir sebagai oposisi. Peranannya lebih terasa bila menjadi oposisi. Bila berkuasa, PDIP terlalu rakus, tidak mau berbagi dengan kekuatan politik lain. 

Pengalaman selama dua periode Jokowi, PDIP lebih berperan menghambat usaha Jokowi untuk merancang kapitalisme yang konsisten. Salah satunya, PDIP justru gencar mengkritik program food estate Presiden Jokowi. Termasuk berperan utama  menggagalkan pelaksanaan Piala Dunia U20. Sementara itu, PKS sebagai wakil borjuasi Islam perkotaan juga lebih cocok sebagai oposisi. Ketika menjadi bagian kekuasaan periode SBY, PKS justru kurang berperan.

Jokowi sepertinya mengambil posisi diam tapi siaga. Ia mengarahkan pion-pionnya untuk mengobrak-abrik pertahanan lawan, tentu saja sembari membangun pertahanan sendiri yang kokoh. Bila situasi sudah matang, Jokowi akan bergerak, melakukan sekali serangan mematikan. Dan ini terbukti dalam Pemilu 2024.***

Jakarta, 3 Oktober 2023







Komentar

Postingan populer dari blog ini

SENJAKALA PDIP

Sepertinya PDIP sudah kesulitan membendung arus balik politik. Kanjeng Mami semakin ditinggalkan wong cilik. Oleh: Ragil Nugroho (Penikmat ikan koi) Aktivis tani era 90an yang pernah dicabut kumisnya oleh introgrator ketika tertangkap, Hari Gombloh, mengungkapkan bahwa pendukung Ganjar di tapal Kulonprogo tipis alias kecil. Padahal, beber warga Brosot ini, Kulonprogo merupakan salah satu kandang Banteng. Menurutnya, ini wajar karena Kulonprogo dekat dengan Wadas. Seperti kita tahu, selama beberapa tahun Wadas merupakan titik episentrum perlawanan terhadap Ganjar dan PDIP. Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, ada ungkapan, " Sadumuk bathuk sanyari bumi ". Ungkapan ini bermakna bahwa satu sentuhan pada dahi dan satu pengurangan ukuran atas tanah (bumi) selebar jari saja bisa dibayar, dibela dengan nyawa (pati). Bagi orang Jawa, tanah adalah kehormatan dan harga diri. Sebagaimana sentuhan pada dahi yang menurut orang Jawa adalah penghinaan, maka penyerobotan tanah walaupun han