Langsung ke konten utama

ANAK BAWANG BERNAMA GIBRAN

Gibran muncul dengan kesadaran kelas borjuasi baru yang tampil egaliter. Cara berpakaian, berfikir, sampai berkomunikasi bukan lagi cara pejabat-pejabat lama yang kaku. Dia bisa membaur dikalangan anak-anak muda tanpa kikuk. Sebagai borjuasi baru, Gibran tak mau tampil bertele-tele. Sementara itu, di hadapan borjuasi lama, Gibran bisa berdiri tegak. 

Oleh: Ragil Nugroho 

Ibaratnya, Gibran ini seperti bawang merah. Dia membuat Hasto, Goenawan Mohamad dan yang lain, menangis bombay. Baru kali ini kemuculan anak muda membuat tokoh-tokoh tua berderai air mata, bukan karena bersuka cita tetapi karena menentangnya. Para uzur seperti terkena hantaman palu Thor. Kemunculan Gibran membuat politik Indonesia jungkir balik. Teori-teori politik yang dipelajari di sekolah-sekolah menjadi mati kutu. Itulah Gibran Rakabumi Raka.

Ini memang zaman anak muda, tidak hanya di Indonesia, juga di dunia. Seperti ada benang-benang yang menghubungkan anak muda di semua belahan dunia untuk mengambil peranan. Kehadirannya seperti detak waktu, pelan namun pasti. Anak-anak muda dibesarkan di era kapitalisme yang berkembang pesat, keluar dari kungkungan konservatisme tokoh-tokoh tua. Teknologi informasi telah mengubah wajah dunia yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Inilah era ketika internasionalisme yang pernah dibayangkan oleh Karl Marx mendapatkan wujudnya. Era ketika anak-anak muda bertukar fikiran lewat media digital, bukan lagi lewat surat menyurat seperti era Kartini.

Kehadiran Gibran seperti kehadiran pemuda dari Sela, Penembahan Senopati. Seperti kita ketahui, Senopati adalah pendiri Mataram, kerajaan yang masih bertahan hingga hari ini. Sementara Gibran, pemuda dari Solo--wilayah Mataram--muncul seperti bintang yang melesat di angkasa. Politisi kota menganggap politik seperti sekolahan, harus berjenjang, atau seperti seseorang yang naik anak tangga mesti menapaki satu demi satu undakan. Kalau seperti itu, Ken Arok dan Raden Wijaya tak pernah menjadi raja dan revolusi Indonesia 1945 hanya impian semata. Padahal politik adalah momentum yang tidak bisa dihitung dengan matematika. Momentum itu datang kapan saja, dan Gibran berada dalam momentum itu. Dia tampil ketika momentum kaum muda di seluruh dunia sedang bangkit. 

Gibran lahir ketika Orde Baru bergulir ke arah senjakala. Masa remajanya dihabiskan di Australia dan Singapura, dua negara dengan kapitalisme yang maju. Dia melihat kapitalisme bertumbuh dengan konsisten dibanding di negaranya yang digrogoti oleh kronisme yang akut. Tentu saja wawasan Gibran adalah industrialis, bukan agraris yang feodalitis. Maka dia bisa tampil percaya diri di hadapan politisi-politisi tua. Sebagai borjuasi baru, Gibran memiliki mental bertarung.

Cita-cita Gibran bukan menjadi pangreh projo, tetapi menjadi borjuasi. Maka ia membuka usaha sebagaimana borjuasi-borjuasi Tionghoa di tahun-tahun 1950-an. Dari berbagai macam usahanya itu, Gibran tumbuh menjadi borjuasi lokal. Sebagai borjuasi, dia tidak berkarakter birokratik. Sebagaimana anak-anak muda, dia goncang tatanan birokratik saat menjadi wali kota. Wajah birokrasi yang kaku dia ubah menjadi cair sehingga tidak ada jarak lagi antara kawulo dan gusti. Terobosan-terobosan dalam membangun kota dia jalankan secara kreatif, bukan semata karena seremonial semata. Maka dia bisa tampil menonjol di antara pemimpin-pemimpin muda.

Gibran muncul dengan kesadaran kelas borjuasi baru yang tampil egaliter. Cara berpakaian, berfikir sampai berkomunikasi bukan lagi cara pejabat-pejabat lama yang kaku. Dia bisa membaur dikalangan anak-anak muda tanpa kikuk. Sebagai borjuasi baru, Gibran tak mau tampil bertele-tele. Sementara itu, di hadapan borjuasi lama, Gibran bisa berdiri tegak. 

Menariknya, sebagai borjuasi Gibran tidak meninggalkan kejawaannya. Dia tampil dengan tatakrama Jawa yang andhap asor. Tidak adigang, adigung dan adiguna. Sebagai lulusan luar negeri, Gibran tidak memunggungi agamanya. Dia dekat dengan kalangan ulama. Dia bisa membaur dalam berbai acara shalawatan Habib Syech, kyai-kyai kampung hingga tokoh sufi seperti Habib Lutfi. Dia tidak kikuk dalam berbagai acara keagamaan. Kuat dengan kuktur santrinya, Gibran tidak tampil fundementalis. Dia mampu mengubah wajah Solo sebagai kota yang meminggirkan minoritas menjadi kota yang toleran. Dia berani pasang badan ketika ada aksi-aksi intoleran di kotanya. Dia memberikan kesempatan pada yang minoritas untuk tampil tanpa rasa takut. Perayaan Natal, Waisak hingga Imlek benar-benar penuh suka cita tanpa rasa takut.

Di sisi lain, Gibran juga bergaul dengan kaum abangan dan priyayi. Maka dia dekat dengan kalangan keraton, baik Kasunanan maupun Mangkunegaran. Dia mencoba merawat keraton-keraton peninggalan Mataram. Bila mengikuti stratafikasi masyarakat dalam The Religion of Java karya Clifford Geertz Gretz, Gibran bisa membaur dengan santri, priyayi dan abangan. Inilah karakter unik dari borjuasi baru seperti Gibran: berwawasan modern namun tidak memunggungi kultur masyarakatnya. Maka dia bisa menjangkar ke bumi dengan kuat sekaligus mengarungi kemajuan zaman. 

Sebagai borjuasi yang tumbuh pasca Orde Baru, Gibran melek media sosial. Dia mampu memanfaatkan media sosial dengan baik, dengan bahasa ala anak muda. Dia bisa berkomunikasi dengan enteng dengan berbagai kalangan. Tak mengherankan kalau Gibran merupakan salah satu selebritis media sosial. Dengan begitu, dia bisa dikenal luas. Inilah mengapa ia cepat meroket di pentas politik Indonesia.

Di zaman ini, media sosial sudah menjadi bagian untuk mengorganisir massa. Sebagai contoh kekinian, desakan kepada Israel untuk menghentikan serangan ke Gaza, banyak dilakukan melalui media sosial. Anak-anak muda mengutuk Israel walaupun pemimpin negara mereka pro Israel. Lewat media sosial mereka terus mengkampanyekan kebuasan Israel. Dengan begitu, Israel vs Palestina sudah keluar dari cangkang perang agama. Mereka mengganggap perang tersebut sebagai bentuk imperialisme Israel terhadap Palestina yang harua ditentang.

Dalam konteks politik Indonesia, Gibran memanfaatkan media sosial dengan jitu. Dia melakukan komunikasi dengan siapa saja, berinteraksi dan saling menyapa. Dalam kesempatan lain, media sosial dia gunakan untuk memecahkan persoalan dengan warganya. Dalam komunikasi sebagai walikota, dia tak pernah bertanya, "KTP mu mana?", walaupun yang melakukan pengaduan warga di luar wilayahnya. Semua yang mengadu diwongke/ dimanusiakan, bukan diintimidasi dengan bertanya warga mana. Dengan cara ngemong seperti itu, Gibran berhasil mendapatkan simpati bukan hanya dari warga Solo, tetapi dari seluruh Indonesia. 

Anak muda memang punya caranya sendiri dalam berpolitik. Sarkesmenya berbeda dengan generasi sebelumnya. Gibran salah yang pandai mengungkapkan sarkasme-sarkasme politik. Salah satunya, ketika ramai masalah petugas partai yang didengung-dengungkan PDIP, Gibran tampil dengan kemeja bertuliakan "petugas parkir". Cara-cara seperti itu tak dimiliki oleh politisi tua.

Kemunculan Gibran sudah menjadi kehendak zaman. Setiap zaman akan melahirkan generasi baru yang ditolak oleh generasi lama. Namun, siapa yang bisa membendung kemunculan generasi baru?***

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

SENJAKALA PDIP

Sepertinya PDIP sudah kesulitan membendung arus balik politik. Kanjeng Mami semakin ditinggalkan wong cilik. Oleh: Ragil Nugroho (Penikmat ikan koi) Aktivis tani era 90an yang pernah dicabut kumisnya oleh introgrator ketika tertangkap, Hari Gombloh, mengungkapkan bahwa pendukung Ganjar di tapal Kulonprogo tipis alias kecil. Padahal, beber warga Brosot ini, Kulonprogo merupakan salah satu kandang Banteng. Menurutnya, ini wajar karena Kulonprogo dekat dengan Wadas. Seperti kita tahu, selama beberapa tahun Wadas merupakan titik episentrum perlawanan terhadap Ganjar dan PDIP. Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, ada ungkapan, " Sadumuk bathuk sanyari bumi ". Ungkapan ini bermakna bahwa satu sentuhan pada dahi dan satu pengurangan ukuran atas tanah (bumi) selebar jari saja bisa dibayar, dibela dengan nyawa (pati). Bagi orang Jawa, tanah adalah kehormatan dan harga diri. Sebagaimana sentuhan pada dahi yang menurut orang Jawa adalah penghinaan, maka penyerobotan tanah walaupun han