Kan gawat tuh kalau muncul berita: Goenawan Mohamad pendiri Tempo cum penyair Salihara diseret ke pengadilan karena terlibat dalam pembantaian 1965. Ia dituduh menerima dana dari CCF dan bekerjasama dengan tentara untuk menggalang gerakan anti komunis.
Oleh: Liluk Lumpita Sibarani
[Anggota Kelompok Ngrumpi “Kidul WC” Filsafat ]
Baru-baru ini gue dapat tugas mata kuliah logika. Pas itu rame-ramenya kasus Goenawan Mohamad nangis-nangis di Kompas Tipi karena merasa ditinggal oleh Pak Jokowi. Kebetulan banget, batin gue. Setelah buka buku ini itu, akhirnya gue mau bikin makalah. Temanya akan ngebahas tulisan Goenawan Mohamad [GM] dan tanggapan dari Opa Pram [Pramoedya Ananta Toer]. Gue akan ngebandingi antara logika formal yang dikawinkan dengan dialektika Hegel oleh GM dengan logika materialisme dialektika dan historis [MDH] yang dipakai Opa Pram.
Tulisan ini coret-coret gue sebelum bikin makalah *hihihi, seperti Corat-Coret di Toilet karya alumnus Filsafat UGM, Kak Eka Kurniawan. Ada Kak Puthut E.A, yang gue baca cerpen-cerpennya waktu SMA. Gue nangis waktu baca cerpennya, Dua Tangis pada Satu Malam. Nyesek banget ceritanya *kemana ye sekarang Kak Puthut. apa lagi sibuk podcast, ye* Ada Kak Hamcrut yang pernah gue temuin syukuran Kak Nezar menjadi wamen. Die lulusan Filsafat yang jadi pawang hujan dan punya kebun *apa gak mumet ye Kak Martin Suryajana kalau ada lulusan Filsafat bisa ngendaliin hujan? pendekatan Marxisme saintifik yang diimani Kak Martin apa gak goyah ye kalau tahu Kak Hamcrut bisa nyegah turunnya hujan di daerah tertentu hanya lewat mantera, doa, dan sesaji ala kadarnya. Pokoknya gak saintifik blas* Ada juga Kak Danang Ardianta yang sekarang menjadi Ketua PSI Gunung Kidul.
Gue akui, gue ini generasi alay yang lebih suka ngebaca majalah Gadis daripada Indoprogress, apalagi jurnal Filsafat keluaran STF Driyakara *aduh. gue koq jadi ngelantur gini. ayo Liluk. fokus, fokus*
*tapi gue mau ganti baju dulu. malam dan hujan pakai tank top gini dingin banget. jangan ngintip ye. cling. Liluk sudah ganti baju. siap lanjut*
Ceritanya gini. Pas semester satu gue cari-cari buku Pengantar Filsafat karangan Louis O. Kattsoff di Taman Pintar, Yogya. Gak sengaja gue nemu buku yang sebetulnya gak gue cari-cari *sumpeh, gue gak pernah ngimpiin* Kertasnya buram dan agak kumal. Beberapa halaman mringkel kena air. Sampai di tempat kost gue di daerah Klebengan, langsung gue jemur buku itu. Sambil nunggu bau apeknya kabur, gue tinggal bobok. Bangun-bangun ternyata sudah malam *dasar tukang molor* Untung saja buku gue gak digondol tikus *apalagi tikus merah. ngeri, cing*
Judul buku itu panjang kayak sepur, Pramoedya Ananta Toer: Perahu yang Setia dalam Badai. Nah, pas halaman 168 ada tulisan GM, judulnya Surat Terbuka buat Pramoedya Ananta Toer. Guys, gue mrinding disko baca tulisan itu. Kata-katanya halus mendayu kayak Pujangga Baru zaman Abdul Moeis *tapi terus terang banyak bagian yang gue gak mudeng. baru setelah gue puasa Senin-Kamis, bagian yang gak mudeng jadi agak terang* Isi tulisan GM, ringkasnya, menyesalkan sikap Opa Pram yang emoh menerima uluran maaf dari Gus Dur dalam kasus Peristiwa 1965. Kenapa Opa Pram gak mau menerima rekonsiliasi yang ditawarkan Gus Dur. Opa Pram keras kepala. Gitulah dalam kacamata GM. Pendek omong: GM ngajak Opa Pram untuk meniru Nelson Mandela *yang sudah dead beberapa hari yang lalu*
Menurut gue, GM seperti Hegel, percaya dialektika yang digerakkan kontradiksi: tesis, anti tesis dan sintesis. Dalam tulisannya GM mulai dari tesis sbb:
Tesis: “Abad ke-20 zaman rencana besar dengan pembinasaan besar.”
Untuk memperkuat tesinya, GM menunjukkan yang ngeri-ngeri:
“Hitler membunuh jutaan Yahudi….”
“Stalin dan Mao dan Pol Pot membinasakan sekian juta….”
“Kemudian Orde Baru: rezim ini membersihkan sekian juta penduduk….”
Setelah tesis ada, anti tesinya apa? GM menuliskan anti tesisnya. Gue kutip saja:
Anti tesis: “Mandela bertahun-tahun di penjara, orang-orang hitam Afrika Selatan bertahun-tahun ditindas, tapi kemudian ketika ia menang, ia membuktikan bahwa abad ke-20 tak sepenunya benar: manusia ternyata bisa untuk tak jadi penakluk.”
Ternyata, menurut GM, pada abad ke-20 tak semuanya jadi pembasmi seperti Hitler, Stalin, Pol Pot, ect. Bagi GM, Nelson Mandela adalah perkecualian. Sesuai dialektika Hegel, setelah tesis dan anti tesis ada, yang dibutuhkan kemudian sintesis. Dalam upaya menyelesaikan pertentangan antara tesis dan anti tesis, GM memberikan sintesis sebagai berikut:
Sintesis: “Ia menawarkan ‘rekonsiliasi’ dengan bekas musuh. Ia tak membalikkan posisi dari si obyek jadi sang subjek.”
*bentar. gue pipis dulu. kebelet nih*
*nah sudah ringan. kemon* Bagi GM, rekonsiliasi menjadi pemecah masalah abad ke-20 yang penuh durjana. GM seperti nemuin api yang bisa menerangi situasi dunia yang muram. Gue tangkap, setelah menemukan itu, GM ingin membagikan pada Opa Pram. Lantas dengan sintesisnya itu [rekonsiliasi] GM berharap: “Seandainya Mandela ada di sini…Bung Pram.” GM mengharapkan Opa Pram seperti Mandela: “Saya mengharapkan Bung akan bersifat sama [seperti Mandela—dari gue].” Karena bagi GM, penderitaan akibat pindasan sama saja dimana pun tempatnya: “Tapi adakah peringkat penderitaan? Bagaimana membandingkannya?” GM ingin ngomong gini: gak ada level-levelan penderitaan akibat penindasan. Sama saje dimana bumi masih muteri matahari.
Sepertinya tesis, anti tesis dan sintesis GM masuk dinalar kan, guys? Tapi tahan napas sebentar, coy. Minum air putih dulu. Gerakan kepala lu ke kiri dan kanan. Angkat tangan. Goyang pantat lu. Setelah rileks, mari kiti move on.
Tapi sebelum move on pada sanggahan Opa Pram, gue mau serong dikit. Ada pertanyaan yang ngandolin otak gue: kenapa GM khusus membuat surat terbuka pada Opa Pram? Padahal setahu gue korban Peristiwa 1965 bukan hanya Opa Pram. Kabarnya malah banyak banget. Hipotesis gue nih, kenapa surat terbuka itu khusus ditunjukkan kepada Opa Pram, selain karena Opa Pram dianggep tokoh, Opa Pram rupanya tak bisa “dibeli” oleh GM. Dalam beberapa buku yang gue baca [Wars Within karya Janet Steele, salah satunya], GM berhasil merangkul orang komunis seperti Amarzan Lubis, Martin Aleida—keduanya pernah jadi wartawan Tempo; dulu keduanya anggota Lekra— Agam Wispi—pernah diminta nerjemahin Faust karta Gothe oleh Kalam, jurnal milik kelompok GM— dan beberpa orang lainnya. Tapi Opa Pram tak pernah berhasil “dibeli” oleh GM—walaupun satu buku Opa Pram, Hoakiau di Indonesia pernah diterbitkan oleh Garba Budaya, penerbit milik kelompok GM jugak. Menurut Gue, fakta itu tentu tak menguntungkan bagi pihak GM. Orang banyak dah tahu, Opa Pram ini kesohor di dunia, karya-karyanya diakui dunia internasional, diterjemahin dalam banyak bahasa, dapat penghargaan soni sini. Kalau Opa Pram ngomong apa saja tentu didengarkan sampai mana-mana *contoh joroknya, Opa Pram kentut saja—dutt…--dunia sudah akan heboh* Makanya GM setengah mati ngebujuk agar Opa Pram menerima ide rekonsiliasi, agar setelah itu gak ngungkit-ngungkit lagi Peristiwa 1965. Tapi lu dan gue kan pada tahu sendiri bagaimana Opa Pram itu. Gak bisa dibujuk dan dibeli. Selalu berdiri pada prinsipnya. Kalau lu pada gak percaya, simak jawapan Opa Pram yang akan gue ulas di bawah ini.
Jawaban Opa Pram ada di halaman 138 buka yang gue sebut di atas. Judulnya: Saya Bukan Nelson Mandela [Tanggapan buat Goenawan Muhamad]. Opa Pram mengetahui sejarah digerakkan oleh kontradiksi, tapi bukan kontradiksi ala Hegel, melainkan kontradiski dialetika materialis ala Marx. Gue tekankan kata materialis di situ. Kata materialis di situ gak sama lho guys dengan kata “cewek matre” atau “hidup materialitis”, misalnya. Materialis dalam logika Marx merujuk pada kondisi onyektif; situasi yang dihadapi. Benar di Afrika Selatan seperti yang dikatakan GM ada penindasan terhadap kulit hitam, tapi bagi dialektika materialis yang dipegang oleh Opa Pram, penindasan di Afrika Selatan beda dengan yang terjadi di Indonesia. GM memakai logika formal prinsip hukum identitas:
A = A [hukum identitas] => Penindasan *di Afrika Selatan = Penindasan *di Indonesia
Karena penindasan di Afrika Selatan bagi GM sama dengan yang terjadi di Indonesia, maka sebagai jalan keluar bisa meniru penyelesaian yang mereka tempuh. Jadi, rekonsialisi yang dibawa Nelson Mandela bisa dipakai dimana saja karena di mana pun terjadi penindasan, ya sama saja hukumnya bagi GM: ada yang menidas dan ada korban, dan berakhir pada konflik yang perlu diselesaikan. Dengan menyamakan penindasan di mana saja, maka semua negara yang terjadi penindasan bisa menyelesaikannya dengan rekonsiliasi ala Mandela. Dengan begitu rekonsilasi bisa dijadikan hukum umum/universal alias premis mayor dalam penalaran deduktif yang sering dipakai logika formal:
Premis mayor : Semua makhluk hidup akan mati
Premis minor : Goenawan Mohamad makhluk hidup
-----------------------------------------------------------
Konklusi : Goenawan Mohamad akan mati
Dalam kasus Indonesia bisa gue gambarkan seperti di bawah ini [mengikuti penalaran GM]:
Premis mayor : Semua negara yang terjadi penindasan akan menyelesaikannya lewat rekonsoliasi
Premis minor : Di Indonesia terjadi penindasan
-------------------------------------------------------
Konklusi : Indonesia akan menyelesaikannya lewat rekonsiliasi
Nama negara dalam premis minor bisa lu ganti ribuan kali sampai lu jebot dah, tapi ketika premis mayornya tetap, maka konklusi [kesimpulannya] akan tetap saja.
Opa Pram dengan enteng saja—karena tahu kelemahan logika formal dan dialektika Hegel yang dipakai oleh GM—memberikan sanggahan: “Di Afrika Selatan, penindasan dan diskriminasi dilakukan oleh kulit putih terhadap kulit hitam. Putih melawan hitam, seperti Belanda melawan Indonesia. Mudah. Apa yang terjadi di Indonesia tidak sesederhana itu: kulit cokelat menindas kulit cokelat.” Opa Pram ingin mengatakan pada GM, penindsan tak sama. Beda yang terjadi di Afrika Selatan dengan di Indonesia. Penyebabnya beda. Bedanya dimana? Sekarang gue akan tunjukin.
Dengan Logika Marx yang dimilikinya, sejak kalimat pertama, Opa Pram sudah tegas dalam tulisannya: “Saya bukan Nelson Mandela. Dan Goenawan Mohamad keliru, Indonesia bukan Afrika Selatan.” Pada kalimat ini Opa Pram kukuh pada materialisme historis, bahwa masing-masing mempunyai sejarah sendiri sesuai dengan kondisi material yang dihadapi. Mandela dibentuk oleh sejarah Afrika Selatan, sedangkan Opa Pram dibentuk sejarah Indonesia. Perbedaan lingkungan—sejarah, menurut gue termasuk di dalamya—akan membentuk karakter, cara berpikir dan cara hidup manusia yang berbeda. Seperti kata Opa Marx: kondisi sosial menentukan kesadaran, bukan sebaliknya. Maka tanpa kompromi Opa Pram berkata. “Saya bukan Nelson Mandela,” karena “Indonesia bukan Afrika Selatan.”
Selain memakai materialisme historis dan dialetika materialis—kondisi obyektif di Afrika Selatan beda banget dengan di Indnesia—, Opa Pram juga makai hukum Logika Marx yang ke tiga: negasi dari negasi *catatan kaki dari gue: negasi = meniadakan; dalam bahasa gue, yang satu meniadakan yang lain sehingga muncul sesuatu yang baru* Kalau contoh dosen gue untuk negasi dari negasi itu: kayu berubah jadi abu. Lu coba bakar kayu sampai habis, nanti lu akan dapatkan abu; lewat proses pembakaran, kayu telah dinegasikan menjadi abu. Sedangkan Opa Pram ngasih contoh yang terjadi di Afrika Selatan dan Indonesia:
Afrika Selatan: Kulit putih menegasikan kulit hitam => jadilah apartheid
Indonesia tahun 1965: Kulit cokelat menegasikan kulit cokelat =>jadilah Orde Baru
*sory gue pup dulu. tiba-tiba perut gue mules. gue tinggal bentar ye. plung. plung. plung. jongkok sambil ngelamun gini enak. plung. plung. ah lega*
*akhirnya keluar semua. lega perut gue. lanjut* Karena yang terjadi di Afrika Selatan berdeda dengan di Indonesia, maka Opa Pram menolak usul GM yang meng-copy paste Mandela dalam menyelesaikan konflik: rekonsiliasi. Dalam tulisan GM, ujud rekonsiliasi itu adalah kata “maaf”. Bagi gue, lagi-lagi GM membawa ide Hegel: Roh Absulut;Yang Ilahiyah—sebagai yang bisa menyelesaikan kontradiski. Jadinya seperti pengakuan dosa: manusia melakukan dosa pada Ilahi, Tuhan marah pada orang yang berbuat dosa, dan si pendosa akhirnya bertobat. Makanya GM menulis: “Maaf justru penegasan atas dosa.” Artinya semua yang terjadi pasca Peristiwa 1965 hanya persoalan dosa semata karena manusia satu ngebantai yang lain. Kembali ke Hegel:
Penyelesaian Peristiwa 1965 ala GM:
tesis : orang membuat dosa karena membantai orang komunis
anti tesis : keluarga korban menuntut keadilan
sintesis : rekonsialisi [rangkul-rangkulan;bermaaf-maafan]
Karepa Opa Pram bukan Hegelian seperti GM, jelas ia menampik cara berpikir seperti itu. Yang terjadi di Indonesia bagi Opa Pram bukan persoalan Ilahiyah, tapi “kulit cokelat menindas kulit cokelat”, yang tentu saja gak bisa diselesaikan dengan pertebotan [mengakui dosa lantas meminta maaf]. Dengan sinis Opa Pram bilang: “Dan gampang amat meminta maaf setelah semua yang terjadi itu. Saya tidak memerlukan basa-basi.” Dan tegas Opa Pram mengatakan: “Dirikan dan tegakkan hukum. Semuanya mesti lewat hukum.” Inilah sepertinya yang ditakutkan GM ketika Peristiwa 1965 diselesaikan lewat hukum. Kenapa takut?
Sepemahaman gue yang cupu dan lemot ini, Peristiwa 1965 bukan dikerjakan oleh aktor tunggal. Kalau diusut lewat hukum, aktor-aktor tersebut [seperti yang sudah banyak diulas selama ini: ada Amerika Serikat, tentara, budayawan Manikebu, dan berbagai ormas] pasti akan terungkap ke publik. Dan bisa jadi GM termasuk yang ikut diadili. Kan gawat tuh kalau muncul berita: Goenawan Mohamad pendiri Tempo cum penyair Salihara diseret ke pengadilan karena terlibat dalam pembantaian 1965. Ia dituduh menerima dana dari CCF dan bekerjasama dengan tentara untuk menggalang gerakan anti komunis. Bagi gue, sekarang kebuka kenapa mati-matian GM bersikeras agar diselesaikan secara damai saja tragedi kemanusian itu. Kalau bahasa generasi gue: piss saja deh; akur-akur. Tentu saja banyak yang berkepentingan seperti GM. Mungkin GM semacam humasnya saja.
Lewat perbandingan tulisan GM dan Opa Pram, sekarang menjadi jelas bagi gue kalau GM—lewat logika formal dan dialektika Hegel—telah melakukan manipulasi terhadap yang terjadi Indonesia pada tahun 1965. Cara manipulasinya? GM berusaha menyamakan yang terjadi di Indonesia 1965 dengan politik apartheid yang terjadi di Afrika Selatan. Ia menarik hukum universal: rekonsiliasi—sebagai penyelesaian. Generasi gue jelas gak mengalami situasi itu. Bokap dan nyokap gue saja belum pacaran. Kalau gak jeli ngebaca tulisan GM, tentu lu akan terkecoh. Dan buktinya banyak juga yang tertipu. Di luar sana banyak banget yang teriak-teriak rekonsiliasi. Tulisan GM seperti masuk akal dan memikat. Tapi setelah gue bandingin dengan jawaban Opa Pram, tipu dayanya kelihatan. Topengnya kebukak. Wajah aslinya tampak *gue menjura pada Opa Pram yang sedang menghisap rokok di alam sana; atau Opa Pram sedang membakar sampah?* Pokoknya gue menjura pada Opa Pram sehingga gue sebagai generasi penerus *ngebusungin dada* gak terperdaya oleh muslihat GM.
Udah dulu ye. Sudah gue sampaikan coret coret gue untuk tugas mata kuliah Logika. Sory gue belum bisa nulis kayak tulisan di Prisma, Kalam atau Indoprogress. Tulisan gue apa adanya saja. Dalam menulis, gue sepakat dengan Opa Pram: “Basa-basi [dalam menulis—dari gue] tak lagi bisa menghibur….”
Gue mau bobok dulu. Doakan ye, nanti kalau makalah gue sudah jadi bisa diterima oleh dosen. Biar gue cepet lulus dan gak jadi mahasiswa abadi.
Bye…Bye *cling*
Catatan: Nama gue ada Sibaraninya. Tapi gue gak ada hubungan dengan Agustinus Sibarani [karikarturnis Lekra yang beken itu] atau dengan Donnie Sibarani [vokalis ADA Band]. Btw: pesan gue, seperti lagu ADA band, jangan sampai jadi “Manusia Bodoh”.
Komentar
Posting Komentar