Bila Doktor Faust rela menukar dirinya dengan Iblis agar menguasai ilmu pengetahuan, maka Hasto rela menukar kemaluannya demi tujuan politiknya
Oleh: Ragil Nugroho (Aktivis 96)
Pertama kali yang dingat dari Hasto Kristiyanto--Sekjen PDIP--adalah air mata dan mencret. Sepertinya air mata Hasto tak ada krannya sehingga gampang sekali jebol. Orang Jawa menyebutnya gembeng. Ketika menyerang pihak lain, Hasto begitu garang seolah-olah orang paling perkasa di muka bumi. Coba ingat-ingat serangannya terhadap Partai Solidaritas Indonesia, Partai Prima, Partai Demokrat, Nasdem maupun PKS. Namun, begitu terantuk kerikil, Hasto langsung nangis-nangis, atau kalau tidak begitu, mencret-mencret. Buaya saja akan malu kalau melihat Hasto nangis-nangis. Air mata buaya pun tak selebay air mata Hasto.
Secara psikologis sepertinya Hasto menderita semacam Oidupus Complex sehingga mencintai Bunda Banteng secara berlebihan. Namun itu tak perlu diperpanjang pembahasannya, biar mahasiswa psikologi yang mengkajinya. Saya lebih berminat membahas watak rai gedhek/muka tembok Hasto dalam menjalankan politik Machiavellinya.
Beberapa bulan lalu Hasto merupakan sekjen partai yang paling tajam mulutnya. Ia dengan enteng lidah menghina partai atau orang lain dengan gaya yang arogan. Kini semua itu berubah 181 derajat. Ia berubah menjadi sekjen partai yang sering nangis-nangis dan tampil melankolis. Inilah wolak walik e zaman, berubahnya zaman. Seorang Hasto berubah menjadi politisi paling cengeng di antara Bumi sampai Mars. Ia seperti mengantongi bawang merah di sakunya untuk sembarang saat ia oleskan di matanya agar air mata berderai. Pada akhirnya Tuhan memang tidak menyukai orang yang sombong dan jumawa.
Sambil menggendong air mata dan kisah-kisah pilu dari kisah seribu satu malam telenovela, kini Hasto mengiba-iba mengajak kubu AMIN untuk bersatu melawan kubu Prabowo-Gibran. Drama kecurangan ia edarkan kemana-kemana seolah sebagai pihak yang paling menderita. Sembari berkhotbah tentang kucarangan, satu demi satu kecurangan kubu Hasto justru terbuka sendiri. Orang mengatakan Gusti Allah tidak tidur. Hasto menelanjangi kubunya sendiri. Sayang Hasto tak akan malu karena sudah tak memiliki kemaluan.
Hasto pernah berkata, "...setelah Pak Anies dideklarasikan kenapa alam tidak bersahabat, terlalu muncul banyak banjir. Itu pertanyaan masyarakat." Hasto pernah pula berceloteh tidak akan bekerjasama dengan PKS dan Demokrat. Hasto pernah pula garang agar menteri-menteri dari Nasdem dicopot karena mendukung Anies. Itu hanya sejumput kecil kata-kata Hasto yang memperlihatkan beberapa bulan lalu masih jumawa. Ia merasa diri dan kubunya paling hebat. Ia merasa selalu bisa berkuasa. Bukankah kekuasaan itu fana, sementara kata Sapardi Djoko Darmono yang abadi hanya waktu? Tapi Hasto tentu tak paham itu karena hatinya telah diganti dengan kotoran kebencian, kelicikan dan keculasan.
Bila Doktor Faust rela menukar dirinya dengan Iblis agar menguasai ilmu pengetahuan, maka Hasto rela menukar kemaluannya demi tujuan politiknya. Bila Erich Fromm pernah bertanya manusia itu domba atau serigala, maka Hasto adalah serigala yang siap menerkam lawan-lawan politiknya namun ia rela berubah menjadi domba bila situasi tidak menguntungkan dirinya. Bila Pinokio hidungnya bisa memanjang, maka Hasto lidahnya yang bisa memanjang sehingga bisa menjilat sana sini tanpa harus merasa rikuh. Kita masih ingat jilatan-jilatannya terhadap Jokowi dan keluarganya. Kini ia berada di garda paling depan menyerang Jokowi dan keluarganya. Itulah karakter Hasto, seorang Brutus di era pasca modern.
Hasto merupakan tipikal politikus yang dengan enteng bisa mengorbankan siapa saja. Garis politiknya adalah injak bambu, satu diangkat satu diinjak. Dasamuka pun merasa minder bila berhadapan dengan Hasto. Bila Dasamuka bermuka sepuluh maka Hasto bermuka seribu satu.
Zaman telah berubah. Orang tak percaya lagi dengan kata-kata dan air mata Hasto. Apa yang keluar dari mulut Hasto sama busuknya yang keluar dari pantatnya. Maka apapun yang dikeluarkan Hasto adalah kebusukan-kebusukan politik. Tak mengherankan kalau sekarang orang banyak memparodikan apa saja yang dilakukan Hasto. Ia mirip yang ditulis Nietzsche dalam Zarathustra, seorang badut yang melakukan atraksi di tengah-tengah pasar. Orang ramai berlalu saja melihat atraksi Hasto. Tak dianggap menarik lagi.
Kita sulit menerka sampai kapan Hasto akan memperdagangkan air matanya. Yesus Kritus berkata, "jadilah garam dunia," namun sebagai orang Katolik, Hasto memilih menjadi "racun dunia" politik Indonesia.***
Komentar
Posting Komentar