Langsung ke konten utama

FOOD ESTATE: USAHA JOKOWI UNTUK MENCIPTAKAN KOLEKTIVITAS PERTANIAN

Food estate merupakan program revolusioner Jokowi yang belum pernah dilakukan presiden-presisen sebelumnya.

Oleh: Ragil Nugroho (Petani durian, tinggal di Blitar)

Setelah Revolusi di Tiongkok, Mao Tse Tung melakukan reformasi agraria yang cukup radikal. Pemerintah membagi-bagikan tanah kepada petani miskin. Mereka yang sebelumnya tak memiliki tanah, dibagikan tanah untuk digarap. Tujuan awalnya, selain agar petani miskin mempunyai tanah, juga mendorong produktivitas pertanian. Tentu saja para petani senang dengan program reformasi agraria Mao. Namun, dalam perjalannya program semacam ini dinilai tak tepat. Mengapa?

Dalam buku "Trird Word Whence and Wither",  Wim F. Wertheim, memberikan penjelasan mengapa reforma agraria di Tiongkok saat itu tidak tepat. Pembagian tanah membuat pemerintah harus membuat pematang-pematang sebagai tapal batas kepemilikan tanah. Tak terhitung ribuan pematang harus dibuat. Akibatnya, hal ini justru menghambat metode-metode baru dalam penggarapan pertanian. Teknologi pertanian, baik itu traktor maupun yang lain, tidak efektif pada kondisi tanah dengan banyak pematang seperti itu.

Mao dan pemimpin RRT mengubah kebijaksanaan reformasi agraria yang justru menghambat revolusi di sektor pertanian. Kebijakan diubah dari bagi-bagi tanah menjadi kolektifitas tanah. Tanah-tanah yang terpisah-pisah dipadukan menjadi unit yang lebih besar. Dengan begitu, teknologi pertanian bisa diterapkan. Produkvitas hasil pertanian meningkat pesat. Koperasi-koperasi pertanian dibentuk untuk menggarap tanah secara kolektif. Program ini juga diiringi dengan pembangunan waduk, saluran irigansi dan reboisasi di dataran tinggi untuk mencegah banjir tahunan.

Sebelumnya, program kolektivitas pertanian  dilakukan di Rusia. Setelah Revolusi di Uni Soviet, Lenin membuat program kolektivitas pertanian dengan memberikan contoh kepada petani. Pemerintah membuat sistem pertanian dengan sistim kolektivitas dan tidak. Setelah panen, para petani bisa melihat sendiri bahwa pertanian kolektif hasilnya lebih besar dibandingkan dengan yang tidak. Para petani pun akhirnya dengan sadar mengikuti program kolektivitas pertanian.

Sebetulnya, program kolektivitas pertanian juga diterapkan di negara-negara kapitalis seperti Amerika Serikat. Bila kita membaca novel "The Grapes of Wrath" karya John Steinbeck, kita bisa menyaksikan para pemilik modal menggusur tanah-tanah petani untuk membuat industrialisasi pertanian. Makna sebetulnya adalah kolektivitas pertanian. Bedanya, bila di Rusia dan Tiongkok para petani tetap berdaulat atas tanahnya, tanah di Amerika Serikat justru dikuasi oleh pemilik modal/swasta.

Formasi Kepemilikan Tanah di Indonesia

Landasan materialisme historis penting untuk melihat formasi kepemilikan tanah di Indonesia. Berbeda dengan Eropa, pada masa corak produksi feodal tidak ada tuan tanah di Indonesia. Ini berbeda dengan di Eropa ketika tuan tanah menguasai kepemilikan tanah. Sejak awal, para petani di Indonesia memiliki tanah dengan luas yang bervariasi, antara 0,5 hektar sampai 2 hektar. Mereka jelas tergolong bukan tuan tanah. Pada masa kolonial, pemilik tanah yang luas adalah Belanda dengan perkebunan-perkebunannya. Selain itu adalah penguasa lokal, namun jumlah mereka tak banyak. Oleh karena itu, tidak ada konsentrasi kepemilikan tanah yang luas seperti di Eropa.

(Foto: pexels.com)

Dengan kepemilikan tanah seperti itu maka sungguh tidak tepat program land reform. Partai Komunis Indonesia (PKI) pernah melakukan blunder. Setelah melakukan penelitian tanah di Jawa Barat, PKI menggelorakan program land reform. Mereka mendesak pemerintah melakukan aksi bagi-bagi tanah. Maka kemudian muncul aksi sepihak. Para anggota Barisan Tani Indonesia (BTI), organisasi tani yang berafiliasi dengan PKI, merebut tanah milik orang-orang yang dianggap tuan tanah. Akibatnya, terjadi konflik horisontal di kalangan masyarakat. Aksi sepihak BTI ini justru bukan tindakan revolusioner, melainkan tindakan yang kontraproduktif. Salah menganalisa formasi kepemilikan tanah, PKI justru menciptakan musuh baru di antara petani sendiri.

Pramoedya Ananta Toer mengkritik aksi sepihak PKI ini di depan Aidit. Menurut Pram, sebagaimana dicatat dalam buku "Saya Ingin Lihat Semuanya Berakhir," langkah PKI merupakan langkah yang gegabah. Kritik ini menyebabkan Aidit menjauhi Pramoedya. Kritik Pramoedya ada benarnya. Masalah tanah harus digarap secara hati-hati. Tanah merupakan alat produksi bagi para petani. Bila tanah mereka dirampas tentu akan menimbulkan perlawanan. Padahal, mereka jelas bukan tuan tanah seperti yang dianggap oleh PKI. Mereka petani biasa yang memiliki tanah tidak lebih dari 2 hektar.

Sebuah tindakan yang dianggap revolusioner, seperti land reform, belum tentu tepat bila tidak sesuai dengan pembacaan atas kondisi obyektif masyarakat. Slogannya bukan lagi "tanah untuk kaum tani", melainkan "kolektivitas dan industrialisasi pertanian".

Pembagian tanah kepada petani, sebagaimana pernah diterapkan di RRC, justru menambah persoalan baru. Pemerintah yang membagi-bagikan tanah memang bisa dianggap populis, namun hal ini justru menghambat kemajuan corak produksi kapitalisme. Hukumnya, ketika kapitalisme semakin maju maka jumlah petani akan menyusut, sementara jumlah buruh akan bertambah. Tapi proses ini tidak terjadi seketika, melainkan perlu tahapan panjang karena menyangkut perubahan formulasi kepemilikan tanah. Artinya pula, terjadi perubahan cara berpikir masyarakat.

Food Estate: Jokowisme Dalam Pertanian

Program food estate yang dicanangkan oleh Jokowi merupakan lompatan ke depan untuk mengubah formasi kepemilikan tanah,dari sisa-sisa feodal menjadi kapitalisme industri. Terobosan yang cukup berani di tengah kepungan borjuasi reaksioner dan partai-partai konservatif, termasuk PDIP.

Food estate sebenarnya merupakan usaha untuk melakukan kolektivitas pertanian. Lahan minimal seluas 25 hektar digarap oleh penduduk lokal atau masyarakat adat dengan ditopang industri pertanian modern. Pertanian benar-benar digarap dengan profesional oleh tenaga-tenaga ahli di bidangnya. Dalam hal ini, para petani didorong menggarap lahan secara kolektif dengan didukung teknologi pertanian yang maju.  Harapannya tentu saja adalah peningkatan produktivitas pertanian dan melahirkan borjuasi-borjuasi baru di pedesaan.

Dalam program food estate ini, Jokowi sudah menyiapkan infrastruktur penunjang seperti bendungan, saluran irigasi, teknologi hingga kesiapan benih dan pupuk. Juga pembentukan kelompok-kelompok tani yang bertanggungjawab  menggarap tanah pertanian kolektif tersebut.

Food estate ini merupakan program revolusioner Jokowi yang belum pernah dilakukan presiden-presiden sebelumnya. Jokowi mengubah formasi kepemilikan tanah petak-petak kecil menjadi pertanian kolektif. Perubahan cukup radikal karena formulasi kepemilikan tanah yang sudah berlangsung berabad-abad dibongkar oleh Jokowi. Tentu hal ini tidak mudah karena menyangkut pula mengubah cara berpikir masyarakat yang sudah turun temurun.

Dengan food estate, Jokowi berusaha memajukan corak produkai kapitalisme di Indonesia. Dengan kepemilikan dan penggarapan tanah secara kolektif akan mengubah struktur feodal masyarakat menjadi modern. Pertanian bergerak ke arah industrialisasi. Dengan perubahan ini maka pola berpikir feodal akan ditinggalkan. Inilah salah satu bentuk revolusi mental sesungguhnya. Dari mental feodal dengan patronase kepada elit berubah menjad bermental modern yang berpikir merdeka, kritis dan mandiri. Maka lahirlah pribadi-pribadi kokoh yang memiliki otoritas untuk menentukan masa depannya sendiri.

Tentu saja, program food estate banyak mengalami penentangan. Perubahan ini menyangkut formulasi modal. Bila food estate berhasil maka dianggap bisa mengancam modal besar yang selama ini menguasai industri pertanian maupun perkebunan. Bisa dibayangkan bila di berbagai wilayah para petani melakukan program food estate. Mereka akan berubah menjadi kekuatan besar yang akan mendominasi produk-produk pertanian dan perkebunan. Mereka akan berubah menjadi lautan borjuasi lokal baru yang bisa menggeser borjuasi lama yang mengandalkan pada rente. Tak mengherankan kalau pesimisme terhadap food estate ini terus menerus dihembuskan.

Salah satu kelemahan Jokowisme, termasuk dalam bidang pertanian dalam wujud food estate, adalah tidak adanya juru bicara. Jokowi tidak memiliki juru bicara yang memiliki pemahaman yang luas tentang sejarah masyarakat dan revolusi Indonesia. Akibatnya, tidak terjelaskan dengan gamblang mengapa Jokowisme perlu dilakukan. Dampak selanjutnya, program-program Jokowi banyak tidak dipahami oleh masyarakat. Tak mengherankan kalau yang mengesankan dari Jakowi hanya membangun jalan tol, pelabuhan, waduk dan membagi-bagikan BLT. Padahal, Jokowi sedang melakun revolusi besar; melakukan lompatan jauh ke depan dalam wujud Jokowisme. ***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SENJAKALA PDIP

Sepertinya PDIP sudah kesulitan membendung arus balik politik. Kanjeng Mami semakin ditinggalkan wong cilik. Oleh: Ragil Nugroho (Penikmat ikan koi) Aktivis tani era 90an yang pernah dicabut kumisnya oleh introgrator ketika tertangkap, Hari Gombloh, mengungkapkan bahwa pendukung Ganjar di tapal Kulonprogo tipis alias kecil. Padahal, beber warga Brosot ini, Kulonprogo merupakan salah satu kandang Banteng. Menurutnya, ini wajar karena Kulonprogo dekat dengan Wadas. Seperti kita tahu, selama beberapa tahun Wadas merupakan titik episentrum perlawanan terhadap Ganjar dan PDIP. Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, ada ungkapan, " Sadumuk bathuk sanyari bumi ". Ungkapan ini bermakna bahwa satu sentuhan pada dahi dan satu pengurangan ukuran atas tanah (bumi) selebar jari saja bisa dibayar, dibela dengan nyawa (pati). Bagi orang Jawa, tanah adalah kehormatan dan harga diri. Sebagaimana sentuhan pada dahi yang menurut orang Jawa adalah penghinaan, maka penyerobotan tanah walaupun han