Itulah karakter khas politik PDIP: membalas air susu dengan air tuba.
Oleh: Ragil Nugroho (Aktivis 96)
Jokowi berbeda dengan Joko Tingkir. Bila Joko Tingkir masih keturunan darah biru sehingga wajar menjadi Sultan Pajang, Jokowi bisa dikatakan keturunan Lembu Peteng. Seperti diketahui, Lembu Peteng sering digunakan untuk menggambarkan garis keturunan yang misterius. Sampai sekarang masih banyak yang memperdebatkan tentang sosok ayah Jokowi. Sederet tokoh Lembu Peteng dari Ken Arok sampai Soeharto pernah menjadi penguasa. Sosok Lembu Peteng inilah yang tidak dipahami anak kota seperti Adian Napitupulu. Tak mengherankan, ia mendaku lima kali kemenangan Jokowi adalah berkat PDIP.
Jokowi lahir dari keluarga biasa-biasa saja, tak ada darah biru menetes dalam dirinya. Orangtuanya bisa digolongkan bagian dari Abangan, dibanding Santri atau Priyayi.
Dalam masyarakat di pedesaan, kaum Abangan ini cukup banyak walaupun tidak pernah unjuk diri. Sebagaimana disampaikan Geertz dalam bukunya yang melegenda "The Religion of Java", kaum abangan merupakan entitas masyarakat "yang mewakili suatu titik berat pada aspek animistis dari sinkritisme Jawa". Mereka ini dalam masyarakat sebagian besar adalah kaum petani yang hidup di pedesaan. Jokowi hidup dalam kultur Abangan seperti itu.
Sebagai bagian dari kaum Abangan, Jokowi tumbuh menjadi borjuasi. Pendidikan di universitas mendorongnya tumbuh menjadi borjuasi lokal pada zaman Orde Baru. Bila sebagian borjuasi di Indonesia mempunyai koneksi dengan kekuasaan rezim Soeharto, Jokowi tumbuh di luar lingkaran itu. Sebagai pengusaha mebel, ia membangun basis ekonominya dan membangun jaringan perkawanan. Ketika maju dalam pilkada Solo, ia bukan politikus. Kemampuan negoisasinya ditempa semasa ia menjadi pengusaha. Sebagai Abangan, ia mampu mengkonsolidasikan kelompok Santri perkotaan yaitu PKS dan kelompok Kristen Perkotaan yang terwadahi oleh PDS. Jadi tak benar jika hanya PDIP yang membawanya pada dua kali kemenangan dalam Pilkada Solo.
Dari Solo inilah ia mulai membangun citra dirinya sebagai borjuasi yang luwes dalam berpolitik. Ia tampil sebagai kepala daerah di tingkat lokal yang mengedepankan negosiasi dan dialog dalam menata kotanya. Salah satu contohnya adalah pemindahan pedagang kaki lima di Monumen 45 Banjarsari. Lewat 57 kali upaya "dialog" makan siang" akhirnya pemindahan PKL bisa dilakukan dengan damai. Sebagai Abangan, Jokowi tidak melupakan tradisi. Sebagaimana pemindahan ibu kota Surakarta dari Kertasura ke Solo, Jokowi menggelar arak-arakan dalam pemindahan PKL tersebut. Dengan begitu, para PKL merasa diperlakukan sebagai manusia terhormat.
Sebagai walikota, Jokowi berani berhadapan dengan pemimpin di atasnya dalam membela kepentingan warganya. Ia menolak rencana Gubernur Jawa Tengah, Bibit Waluyo dalam rencana pembangunan mal di bekas pabrik es Saripetojo. Penolakan Jokowi untuk membatasi maraknya pasar modern dan melindungi pasar tradisional. Sebagai seorang pensiunan jendral, tentu Bibit Waluyo bereaksi keras. Sebagai Abangan, Jokowi menghadapi serangan tersebut tidak dengan frontal, melainkan dengan sikap "andhap asor" / rendah hati dengan memangku Bibit Waluyo. Sikap seperti ini menimbulkan simpati publik. Sebagai anak kota, Adian Napitupulu tak akan bisa memahami hal seperti itu. Kenapa? Karena tangannya bersih dari lumpur tanah petani dan tak pernah bersuka cita seperti anak-anak kampung melihat bulan purnama.
Kemenangan dalam Pilkada Jakarta dan Pilpres hanya masalah waktu. Wahyu keprabon sudah menaunginya. Pilkada Jakarta jelas bukan peran PDIP semata. Ada peran Jendral Penunggang Kuda, Prabowo Subianto, yang selalu menjadi bahan serangan Adian yang hanya muncul setiap lima tahun sekali. Gerindra merupakan penyokong utama Jokowi dalam Pilkada Jakarta. Entah mengapa saat Prabowo mendukung Jokowi, Adian sebagai aktivis sejati tidak berteriak lantang agar Jokowi menarik garis tegas dengan Prabowo sebagai jendral Orde Baru. Sepertinya saat itu mulut Adian sedang terkunci entah oleh apa.
Momen Pilkada sebetulnya bukan momentum parpol, tetapi momentum kemunculan relawan. Munculnya relawan baju kotak-kotak merupakan hal baru dalam perpolitikan Indonesia. Bukan struktur partai yang bergerak, melainkan struktur relawan. Partai hanya pemegang stempel semata, sementara relawanlah yang melakukan pengorganisasian di basis massa. Ini pula modal Jokowi memenangkan dua kali Pilpres. Relawan adalah sekoci-sekoci Jokowi untuk mengantarkannya menuju Istana. Dalam Pilpres, suara Jokowi 2 kali lipat suara PDIP dalam Pileg. Sekali lagi, peran PDIP hanya memberikan stempel belaka. Bila PDIP tidak mendukung sekalipun, Jokowi akan tetap melenggang ke Istana. Seorang yang telah dinaungi wahyu keprabon tidak bisa dihambat oleh siapapun, apalagi hanya seorang aktivis sejati seperti Adian Napitupulu.
Berkebalikan dengan Jokowi, Megawati kalah melulu. Ia jelas bukan keturunan Lembu Peteng. Ada trah darah biru di darahnya. Dalam Pilpres 1999, Megawati dikalahkan oleh Gus Dur ( yang menurut Gus Dur sendiri memiliki trah Lembu Peteng). Seperti Jokowi, Gus Dur lebih piawai menggalang kekuatan politik di Senayan dibandingkan Megawati. Akibatnya, Megawati kalah telak dan diberi "hadiah" menjadi wakil presiden. Dan, Megawati kelak menjadi presiden karena warisan dari Gus Dur. Terbukti, ketika ia harus memperebutkan sendiri jabatan presiden, dua kali ia di-sleding oleh Susilo Bambang Yudhoyono. Bila PDIP kuat sebagaimana didaku Adian, tentu akan bisa dengan mudah mengalahkan SBY. Menariknya, ketika dua kali kalah dari SBY, Megawati berpasangan dengan Prabowo. Bagaimana dengan Adian? Mana suaranya? Ia diam dua ribu kata, tidak mengingatkan Megawati agar tidak perpasangan dengan jendral pelanggar HAM seperti Prabowo. Berbaik sangka saja, mungkin saat itu mp3 player Adian sedang lowbat sehingga tidak bisa bersuara.
Tiga kali kekalahan Megawati ini merupakan hal yang memalukan dalam sejarah PDIP. Sebagai partai yang mendaku kuat secara ideologi, politik dan organisasi serta konon partainya wong cilik, tak mampu mengantarkan Ketua Umumnya menjadi presiden hingga terkesan tidak didukung semesta alias tidak "mestakung" (semesta mendukung). Para wong cilik tidak memberinya restu hingga menggerakkan semesta untuk tidak merestui pula. Untung muncul sosok Jokowi yang mampu menyelamatkan PDIP sehingga menutupi rasa malu Banteng Moncong Putih. Tanpa ada Jokowi, PDIP akan tetap merumput di pojok kekuasaan sebagai partai yang tak pernah mampu menaikkan Ketua Umumnya sebagai presiden hingga hari ini. Bukan PDIP yang berjasa kepada Jokowi, melainkan Jokowilah yang berjasa kepada PDIP. Ironisnya, balasan terhadap jasa Jokowi tersebut justru pengkhianatan terhadap Jokowi, yang teranyar adalah pengkhianatan dalam penyelenggaran Piala Dunia U 20.
Itulah karakter khas politik PDIP: membalas air susu dengan air tuba. Inilah yang dibanggakan hingga setinggi langit ke tujuh oleh aktivis sejati Adian Napitupulu. ***
bagian ini bikin saya hampir tersedak..."tanpa ada Jokowi, PDIP akan tetap merumput di pojok kekuasaan..."
BalasHapusTulisan bagus, lumayan reflektif..
BalasHapus