Bila laknat Tuhan tidak mempan, maka Mamaknya FX. Rudy yang harus turun tangan.
Oleh: Ragil Nugroho (Penggemar Husky)
FX. Rudy sudah ditinggalkan zaman. Ia terseok-seok mengikuti dinamika politik kaum muda. Jadilah ia merasa harus memanggil-manggil Tuhan. Ia lupa, sejak abad ke-19 gereja sudah memisahkan diri dari kekuasaan politik. Urusan kekuasaan tak ada sangkut pautnya lagi dengan Bapa di surga. Sebagai seorang Katolik, semestinya FX. Rudy memahami hal ini: tak perlu mengajak Tuhan bermain politik. Tapi FX. Rudy sepertinya lebih cocok hidup di Abad Kegelapan, ketika seseorang yang mempelajari karya Aristoteles tentang tawa harus dihukum. Konon tawa bisa mendatangkan laknat Tuhan.
Politik hari ini adalah politik kaum muda yang tak dipahami oleh FX. Rudy. Anak-anak muda mempunyai adagiumnya sendiri: politik secukupnya, berkawan sebanyaknya. Inilah yang melatari gaya politik Gibran. Sebagai bagian dari kaum milenial, Gibran memiliki langgam politiknya sendiri. Ia tak mau terkotak-kotak. Ia berusaha mencari kawan sebanyak-banyaknya.
Gaya politik FX. Rudy adalah gaya politik PDIP yang membungkam setiap perbedaan dengan segala cara. Bila laknat Tuhan tidak mempan maka Mamaknya FX. Rudy yang harus turun tangan. Jadi, dipanggilah Gibran untuk "ditertibkan", disuruh "diam".
Ada semacam sikap paranoid PDIP menghadapi perpolitikan kiniwari. Mungkin ini pengalaman mereka sendiri. Sewaktu zaman Gus Dur, mereka mengkhianati Raja Sarungan ini. PDIP bersekutu dengan kekuatan politik lain untuk mendongkel Gus Dur. Ini disampaikan Gus Dur sendiri dalam wawancara bersama Kick Andy. Padahal, Gus Durlah yang membawa Mamaknya FX. Rudy ke panggung politik nasional. Sebagaimana disampaikan Pak Kumis, Eros Djarot, Gus Dur yang membawa Mamaknya FX. Rudy keluar masuk pesantren. Apakah Gus Dur kemudian bilang, "Siapa saja yang mengkhinati Gus Dur akan dilaknat Tuhan?" Sebagai seorang demokrat sejati, walaupun telah dikhianati, Gus Dur tetap berteman. Ujar Gus Dur, "Kita memaafkan, tapi tidak melupakan."
Ketika berhasil menggantikan Gus Dur, Mamaknya FX. Rudy mengkhianati rakyat Aceh. Padahal sebelumnya, ketika berada di Aceh, Mamaknya FX. Rudy sempat menangis. Namun setelah itu justru mamak-mamak Aceh gantian menangis karena anak-anak mereka dituduh sebagai bagian dari Gerakan Aceh Merdeka. Pasukan militer yang telah ditarik dari Aceh oleh Gus Dur, didatangkan kembali. Aceh kembali menjadi Daerah Operasi Militer. Upaya-upaya dialog yang telah dirintis oleh Gus Dur dibabat dengan operasi militer oleh Mamaknya FX. Rudy
Hal serupa juga terjadi di Papua. Susah payah Gus Dur berusaha menyelesaikan upaya damai masalah Papua, tapi Mamaknya FX. Rudy justru mendatangkan militer ke Papua. Tokoh Papua, Theys Hiyo Eluay, gugur misterius ketika Mamaknya FX. Rudy berkuasa. Tentu rakyat Papua merasa dikhianati.
Belum lagi terhadap korban 27 Juli 1996 (Kudatuli). Aneh bin ajaib, PDIP justru mendukung Sutiyoso (Pangdam Jaya sewaktu peristiwa itu pecah), yang dianggap bertangungjawab dalam peyerangan kantor DPP PDIP Jl. Diponegoro, sebagai Gubernur DKI. Sewaktu kasus Kudatuli dibuka kembali oleh Gus Dur dan belum tuntas karena keburu dilengserkan, Mamaknya FX. Rudy memilih diam. Mencari aman. Tak berani menyeret aparat militer ke pengadilan. Kata Peter Kasenda dalam tulisannya "Peristiwa 27 Juli 1996: Titik Balik Perlawanan Rakyat", Mamaknya FX. Rudy lebih memilih menjaga hubungan baik dengan militer agar pemerintahannya aman. Dengan kata lain, ia memilih berangkulan dengan militer dibandingkan berdiri membela korban Kudatuli. Bukankah ini bentuk pengkhianatan terhadap korban Kudatuli?
Pelajaran demokrasi sepertinya tidak ada dalam kamus PDIP, walaupun kata "demokrasi" melekat pada nama partai. Maka ketika Gibran bertemu Prabowo, ia dianggap sebagai pembangkangan terhadap garis partai. Namun, Gibran menanggapi itu dengan santai. Ketika dipanggil ke DPP PDIP, ia datang. Setelah itu, ia hanya melontarkan guyonan bahwa dirinya "anak kecil" dan takut "dilucnud" (plesetan kata "dilaknat"). Setelah itu, tergopoh-gopohlah Ganjar menemui Gibran, disusul Puan Maharani. Rupanya, kandang Moncong Putih baru sadar bahwa langkah mereka memanggil Gibran justru menimbulkan antipati publik. Seperti kasus Piala Dunia U 20, simpati justru mengalir ke Gibran.
Bila jurus politik anti demokrasi "Memanggil Tuhan" seperti gaya FX. Rudy terus dipelihara, kehancuran kandang Moncong Putih sepertinya hanya tinggal menunggu waktu. Haruskah kita mulai menghitung mundur dari sekarang?***
Komentar
Posting Komentar