Langsung ke konten utama

TENTANG JOKOWISME (Tanggapan untuk Andy Budiman)

Jokowisme adalah jalan baru kapitalisme di Indonesia.

Oleh: Ragil Nugroho (Alumnus Filsafat UGM)

Tulisan Andy Budiman di Kompas.id (23/05/2003) tentang Jokowisme sangat meleset. Sepertinya ia hanya paham istilah Jokowisme, tapi luput memahami esensi istilah tersebut. Tak mengherankan kalau tulisannya hanya mengupas kulit ari dari Jokowisme, tak menyentuh intinya. Tak mengherankan pula konsep Jokowisme yang ditawarkan PSI menjadi bahan tertawaan  Rocky Gerung karena penjelasan seperti yang dikemukakan Andy Budiman sangat banal. Jangan sampai istilah Jokowisme hanya kegenitan kelas menengah perkotaan yang berujung pada kultus individu.

Jokowisme sama dengan Leninisme, Maoisme atau Marxisme. Isme-Isme yang saya sebut adalah paham untuk mengubah basis ekonomi kapitalisme guna mendorong perubahan supra struktur masyarakat. Ia bukan sekadar tentang sekian ribu kilo jalan tol yang ada, sekian jariangan kereta bawah tanah, sekian pelabuhan, sekian sekolah atau rumah sakit yang dibangun, sekian trilyun bantuan sosial yang diberikan. Lebih dari itu, Jokowisme merupakan upaya untuk mengubah formasi kapitalisme Indonesia, sebagaimana yang dilakukan Lenin di Rusia, Mao di Tiongkok, Fidel Castro di Kuba, Hugo Caves di Venezuela, Lula di Brasil, atau Evo Morales di Bolivia.

Jokowisme berkaitan dengan perkembangam corak produksi kapitalisme. Harus kita lihat bahwa perkembangan kapitalisme di Indonesia berbeda dengan yang terjadi di Eropa maupun Amerika Serikat. Sebagai negara bekas jajahan, perkembangan kapitalisme  di Indonesia menempuh jalannya sendiri. Tentu hal ini membawa dampak dalam sejarah bangsa Indonesia. Oleh karena itu, kita harus berangkat dari materialisme historis untuk mengetahui dialektika masyarakat Indonesia dalam konteks perkembangan kapitalisme. Dengan begitu kita akan memperoleh landasan yang kokoh tentang Jokowisme.

Cacat Bawaan Kapitalisme Indonesia

Kapitalisme di Indonesia lahir bukan karena hasil Revolusi Industri sebagaimana terjadi di Inggris ataupun Revolusi Sosial di Prancis. Kapitalisme di Indonesia lahir sebagai konsekuensi cengkraman kolonialisme Belanda. Dengan kata lain, kapitalisme di Indonesia lahir karena cangkokan kolonialisme. Belandalah yang menyatukan Indonesia dalam corak produksi kapitalisme.

Pembangunan jalan Anyer Panarukan yang dilakukan Daendels, sebagaimana dituliskan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Jalan Raya Pos, Jalan Raya Daendels, bukan semata membuat jalur untuk lalu lintas, tetapi yang lebih penting dari itu adalah usaha Belanda dalam menyatukan pulau Jawa dalam corak produksi kapitalisme. Begitu pula pembangunan jalur kereta api bukan karena Belanda giat membangun infrastruktur, tetapi karena modal harus menyebar ke seluruh Jawa. Dengan begitu perkebunan tebu, kopi maupun teh milik borjuasi Belanda bisa menghasilkan akumulasi modal lebih besar. Dan lebih penting lagi, menyapu corak produksi agraris menjadi corak produksi kapitalis industri. Maka mulai lahirlah kelas buruh sebagai konsekuensi logis perkembangan kapitalisme.

Belanda bisa dikatakan sangat Jawasentris. Kapitalisme hanya berkembang pesat di Jawa, sementara di luar Jawa tidak menjadi pusat perhatian.  Perkebunan memang dibuka di beberapa daerah di Sumatera, tetapi kurang digarap dengan serius. Hal ini tentu menjadi masalah hingga saat ini. Modal tidak berkembang merata antara di Jawa dan luar Jawa. Ketimpangan modal ini berkonsekuensi pada ketimpangan kemajuan di wilayah-wilayah Indonesia. Corak produksi kapitalisme hanya terkonsentrasi di Jawa dan membiarkan keterbelakangan di luar Jawa.

Kapitalisme cangkokan juga membawa akibat serius yaitu tidak tumbuhnya borjuasi pribumi. Belanda memang tidak menghendaki itu. Para priyayi maupun penguasa pribumi tidak didorong tumbuh menjadi kelas borjuasi. Belanda justru mempertahankan struktur feodal demi kepentingan borjuasi Belanda. Tugas priyayi dan penguasa lokal hanya membantu borjuasi Belanda, baik merampas alat produksi petani berupa tanah untuk industri perkebunan maupun untuk mengerahkan tenaga kerja murah, di samping tentu saja sebagai petugas penarik pajak.

Tidak munculnya borjuasi pribumi membawa dampak besar dalam sejarah kapitalisme Indonesia. Pascakolonialisme, bangsa Indonesia harus kelimpungan karena tidak hadirnya borjuasi pribumi. Sukarno harus membuat program Benteng guna merangsang tumbuhnya kaum borjuasi. Ketika Sukarno melakukan nasionalisasi perusahan-perusahaan Belanda, borjuasi pribumi ternyata tidak siap sehingga tentaralah yang mengambil alih. Inilah cikal bakal tentara tumbuh menjadi borjuasi bersenjata. Lebih parahnya lagi, lewat PP 10/1959, Sukarno dan tentara justru membabat borjuasi Tionghoa yang relatif tangguh dan mandiri. Rasisme membuat borjuasi Tionghoa yang tumbuh sejak era kolonial harus meninggalkan tempat usahanya. Para penentang rasisme Sukarno, seperti Pramoedya Ananta Toer, justru diterungku.

Usaha Sukarno untuk mendorong tumbuhnya borjuasi pribumi belum selesai ketika ia disapu oleh Amerika Serikat dan Angkatan Darat sehingga pecah Peristiwa 1965. Peristiwa ini menjadi awal runtuhnya rezim Sukarno dan dibabatnya kekuatan progresif. Soeharto tampil ke muka, dengan didukung modal asin, membawa perubahan pada corak produksi kapitalisme di Indonesia.

Richard Robinson lewat "Indonesia: The Rise of Capital" yang merupakan buku terbaik hingga saat ini yang menjelaskan formulasi kapitalisme pada era Orde Baru. Robinson dengan tajam dan data yang akurat serta rinci membongkar perkembangan ekonomi politik Orde Baru. Usahanya, yang diawali dengan menganalisa kapitalisme pra dan pascakolonial, membuat analisanya kokoh.

Selama Orde Baru, kapitalisme berkembang sangat pesat. Sebagaimana penjelasan Robinson, negara hadir sebagai katalisator munculnya kelas borjuasi domestik. Mereka mulai tumbuh dan terus berkembang hingga mencengkram negara. Namun, dalam perkembangannya, borjuasi domestik ini tetap menyusu pada negara. Maka terjadilah persetubuhan antara modal dan birokrasi. Para borjuasi domestik yang berkembang menjadi konglomerat raksasa tumbuh bukan karena persaingan bebas di pasar, namun karena kolusi dengan kekuasaan yang korup yang tersentralisir di bawah ketiak Soeharto.

Konsekuensi kronisme antara borjuasi domestik dan penguasa adalah pengkhianatan terhadap watak kelasnya. Bila saudara mereka di Eropa dan Amerika Serikat dalam pertumbuhannya menuntut demokrasi liberal agar mereka bisa berkembang dengan pesat, borjuasi domestik di Indonesia tidak peduli dengan itu. Mereka rela hidup di bawah rezim diktator seperti Soeharto asal kepentingan ekonomi-politik mereka tetap terjaga. Akibatnya, perkembangan borjuasi domestik tersebut tidak membawa perubahan supra struktur masyarakat. Mereka rela menggadaikan apapun demi kepentingan modal tetap aman. Maka tidaklah mengherankan kalau rezim Soeharto bisa berkuasa selama 32 tahun karena borjuasinya cukup nyaman hidup dalam kekuasaan yang otoriter.

Jokowisme: Jalan Baru Kapitalisme Indonesia

Jokowi berusaha menjawab problem-problem kapitalisme yang telah diuraikan di atas. Jokowi berusaha meletakkan kapitalisme pada relnya sehingga bisa berkembang ke arah liberalisme. Sebagai borjuasi yang tumbuh di era kapitalisme kroni rezim Soeharto, tentu Jokowi merasakan dampaknya. Ia tumbuh bukan dari kroni kekuasaan saat itu sehingga tentu saja ia banyak mengalami kesulitan dalam berusaha. Omnibus Law merupakan salah satu perangkat yang dibuat Jokowi agar kapitalisme konsisten di jalannya. Bila kapitalisme berjalan secara konsisten maka diharapkan melahirkan borjuasi yang tangguh. Lahir bukan dari kronisme seperti zaman Orde Baru, melainkan lewat pertarungan di pasar bebas kapitalisme. Syarat borjuasi yang tangguh adalah ia tak menyusu pada kekuasaan. Dengan begitu, mereka akan teguh dengan watak kelasnya dalam menyokong demokrasi dan ekonomi liberal.

Bila borjuasi Indonesia konsisten maka juga akan melahirkan kelas buruh yang kuat pula. Serikat-serikat buruh akan dibiarkan tumbuh kuat sebagai penyeimbang borjuasi. Seperti yang terjadi di Eropa, ketika borjuasi dan kelas buruhnya kuat maka akan terjadi negoisasi dan kompromi yang kemudian akan melahirkan negara kesejahteraan.

(Foto: pexels.com)

Pemindahan IKN ke Kalimantan Timur merupakan upaya dari Jokowi agar tak terjebak dalam Jawasentris. Begitu pula pembangun jalan trans Papua dan trans lainnya di luar Jawa. Seperti yang dilakukan Lenin pasca Revolusi Oktober 1917, yang langsung menitikberatkan pada infrastruktur jalan dan listrik, Jokowi melakukan hal serupa. Tujuannya apa? Agar modal bisa berkembang ke seluruh wilayah Indonesia, agar industrialisasi tak berpusat di Jawa semata, sehingga Indonesia benar-benar dalam satu ikatan ekonomi politik kapitalisme. Tanpa modal yang menyebar maka masyarakat Indonesia akan tetap tersungkup dalam masyarakat agraris, tak mampu bertransformasi menjadi masyarakat industri. Akibatnya, kita akan tetap menjadi Negara Dunia Ketiga.

Bila kapitalisme berjalan konsisten maka jumlah petani akan menyusut. Pertanian saat ini dengan pematang-pematang di sawah maupun ladang tidak efektif. Dengan sistem seperti itu, teknologi pertanian modern tidak bisa diterapkan sehingga cara-cara tradisonal yang dipakai. Akibatnya, produk pertanian tidak bisa mencukupi kebutuhan dalam negeri. Impor pun terus terjadi. Jika kapitalisme berjalan konsisten maka pertanian akan berubah menjadi industri dengan teknologi yang maju. Para petani akan berubah menjadi kelas buruh di industri-industri pertanian. Produkvitas hasil pertanian bisa dipacu agar selain bisa mencukupi kebutuhan dalam negeri juga bisa diekspor. Potensi pertanian yang besar bisa dimaksimalkan.

Seperti yang diulas Karl Marx dalam The Eighteenth Brumaire of Luis Bonoparte bahwa manusia mempunyai kebebasan untuk bertidak, namun kebebasan tersebut tidak bisa mutlak karena ada pagar kondisi riil berupa konteks sejarah dan pertarungan-pertarungan masa lalu. Dalam upaya mengkonsistenkan kapitalisme, Jokowi mengalami problem seperti yang disampaikan Marx. Ada sisa-sisa borjuasi dari masa lalu yang tetap menghendaki kapitalisme kroni. Mereka akan terus berupaya memukul mundur usaha Jokowi membuat jalan baru kapitalisme Indonesia. Bisa jadi sisa-sisa masa lalu itu ada di partainya sendiri, PDIP. Di tengah situasi seperti itu Jokowi tetap harus melakukan negoisasi dan kompromi. Inilah yang membuat Jokowi seolah-olah tidak konsisten. Dan ini wajar terjadi karena dukungan terhadap Jokowi belum cukup kuat untuk secara frontal membabat sisa-sisa borjuasi lama yang ingin tetap menyusu pada kekuasaan. Mereka lebih memilih melakukan Korupsi, Korupsi dan Nepostisme dibanding bertarung bebas dalam sistem kapitalisme liberal.

Tentu saja, tugas pengganti Jokowi adalah meneruskan jalan baru kapitalisme yang telah dirintis Jokowi. Siapa dia? Seperti yang telah diutarakan Deng Xiaoping, tidak penting kucing itu berwarna putih, hitam atau merah, yang terpenting adalah kucing itu berani dan bisa menangkap tikus! ***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SENJAKALA PDIP

Sepertinya PDIP sudah kesulitan membendung arus balik politik. Kanjeng Mami semakin ditinggalkan wong cilik. Oleh: Ragil Nugroho (Penikmat ikan koi) Aktivis tani era 90an yang pernah dicabut kumisnya oleh introgrator ketika tertangkap, Hari Gombloh, mengungkapkan bahwa pendukung Ganjar di tapal Kulonprogo tipis alias kecil. Padahal, beber warga Brosot ini, Kulonprogo merupakan salah satu kandang Banteng. Menurutnya, ini wajar karena Kulonprogo dekat dengan Wadas. Seperti kita tahu, selama beberapa tahun Wadas merupakan titik episentrum perlawanan terhadap Ganjar dan PDIP. Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, ada ungkapan, " Sadumuk bathuk sanyari bumi ". Ungkapan ini bermakna bahwa satu sentuhan pada dahi dan satu pengurangan ukuran atas tanah (bumi) selebar jari saja bisa dibayar, dibela dengan nyawa (pati). Bagi orang Jawa, tanah adalah kehormatan dan harga diri. Sebagaimana sentuhan pada dahi yang menurut orang Jawa adalah penghinaan, maka penyerobotan tanah walaupun han