Jika kader-kader PRD bekerja keras memenangkan jagaoannya, bila menang maka berhak menuntut hak atas kue kekuasaan. Sehingga bila Prabowo-Gibran menang maka Budiman bisa menuntut jatah menteri desa, Agus Jabo sebagai kepala BIN atau Haris Rusli Moti menjadi sekretaris kabinet. Bila Anies-Imin menang maka Faisol Reza bisa menuntut jabatan menteri pemuda dan olah raga, Yakobus Eko Kurniawan sebagai menteri agama atau Dita Sari menjadi menteri tenaga kerja. Bila Ganjar Mahfud menang maka Petrus harus mendapatkan jatah menteri sosial, Zul Amrozi sebagai menkominfo, Iwan Dwi Laksono sebagai Kepala KSP, Kelik Ismunanto sebagai kepala BP2MI, atau Waskito Giri Sasongko sebagai dirjen kebudayaan.
Oleh: Ragil Nugroho ( Penulis Masalah Kekiri-Kirian)
Harus diakui, Pilpres kali ini adalah All PRD Man. Dari semua gerakan demokratik yang lahir pada masa Orde Baru, PRD lah yang paling keras bertarung. Kader-kader PRD ada di tiga kubu. Saling sikat dan serang. Di masing-masing kubu terdapat kader-kader terbaik PRD yang sudah melalui saringan bunuh, culik, bui dan buang.
Memang ada yang menempatkan diri sebagai begawan seperti Sahanudin Hamzah, S.Fil aka Hamcrut, namun sebagian besar memilih ikut dalam pertarungan. Kenyataan ini menggembirakan, bahwa PRD yang dikenal kiri, progresif dan revolusioner, mampu terlibat dalam medan pertempuran borjuasi. Artinya, kader-kader PRD tidak alergi dengan demokrasi borjuis. Artinya lagi, tidak menjadi liquidator kanan maupun kiri--meminjam istilah Lenin. Dengan begitu, kader-kader PRD yang terlibat dalam pertarungan Pilpres maupun Pileg 2024 bisa dikatan masih berada di garis Leninis. Ya Allah, ini tentu menggembirakan. Bahwa Leninisme belum punah di negeri ini.
Dalam pertarungan kali ini beda pendapat dan pendapatan adalah hal yang biasa. Sebisanya pertarungan harus sekeras mungkin seperti Kurawa vs Pandawa, Barca vs Madrid atau Tom vs Jery. Jangan tanggung-tanggung menyerang kawan di kubu lawan. Jangan ewuh pakewuh seperti karakter para priyayi Jawa. Lumpuhkan kawan di kubu lawan dengan berbagai cara. Kuliti borok-boroknya dari masa lalu sampai hari ini. Cari kelemahannya di celah-celah sempit dan gelap sehingga yang belum terungkap menjadi terungkap. Tiru misalnya yang dilakukan politisi PDIP Dedy Sitorus yang mengungkit celana dalam ketua PSI, Kaesang, yang masih tertinggal di rumah pacarnya. Lakukan seperti Majalah Tempo menguliti Iriana Jokowi. Pojokkan sampai mengibarkan bendera putih. Buat semerana-rananya. Bikin lumpuh dan tak berdaya.
Selama ini serangan masih terlihat setengah hati. Sebagai ilustrasi, bila serangan kepada Budiman dianggap stratak yang jitu menggerus kekuatan lawan, maka yang terpantau sejauh ini serangan terhadapnya masih itu saja-saja. Kurang menyengat dan menyakitkan. Tak menimbulkan rasa perih. Tak menimbulkan kepedihan. Bila ingin berhasil, serangannya harus dibuat lebih melukai lagi. Tentu masih banyak borok-borok Budiman yang belum terungkap. Selidiki ke tetangga kanan kiri apakah, misalnya, dia suka berak sembarangan, pelit, tidak mau bayar utang, dsb. Iris tipis-tipis. Taburi cuka. Iris-iris lagi. Taburi cuka. Begitu seterusnya. Belajarlah dari psikopat seperti Hanibal ketika mengeksekusi korbannya. Jangan kasih ampun walaupun korban melolong-lolong. Di situlah kenikmatan dalam melakukan serangan.
Ingat lagi pelajaran kursus politik pada masa lalu. Ingat bagaimana Melshevik dan Bolshevik bertarung. Pelajari bagaimana PKI Alimin vs Aidit. Atau bagaimana Mao menghadapi kelompok empat. Pertarungan mereka begitu keras. Saling ejek dan sindir dengan sarkasme-sarkasme yang mumpuni. Jangan cengeng menghadapi serangan lawan. Bila hal ini terjadi maka orang kebanyakan bisa melihat bagaimana kader-kader PRD bertarung dalam arena demokrasi borjuis dengan serius. Buang perasaan sungkan antar kawan. Kalau perlu tidak saling tegur antar kawan karena beda kubu, lakukan. Pertarungan borjuasi ini bukan pertarungan main-main. Kalau tidak kuat lebih baik mundur.
Harus diakui salah satu kelemahan kader-kader PRD adalah kemampuan menulis. Setelah 30 tahun berlalu sejak PRD lahir, tidak menghasilkan penulis-penulis yang andal. Dalam hal ini kaderisasi PRD bisa dikatakan gagal total. Sampai hari ini kita bisa membaca pemikiran Marx, Engels, Lenin, Stalin, Mao, Che, Castro, hingga Aidit. Kita bisa menikmati perdebatan-perdebatan mereka yang argumentatif.
Perlu dinyatakan sebagian besar kualitas kader-kader PRD masih berbudaya oral, yang tak mampu menuangkan gagasan dan pemikiran dalam tulisan yang runtut dan rapi, serta enak dibaca. Tak mengherankan kalau dalam Pilpres kali ini kita tak menemukan pemikiran tertulis yang bisa dijadikan acuan bagi pertarungan adu gagasan yang kuat. Kita hanya menemukan percikan gagasan dalam bentuk potongan-potongan wawancara, atau komentar di sosial media. Kenyataan ini sebetulnya memalukan.
Sebagian besar kader-kader PRD merupakan insan cendekia dari berbagai kampus ternama, namun masih dalam kubangan budaya oral, belum beranjak ke tradisi tulis. Tampak bahwa kader-kader PRD begitu garang di grup-grup WA, namun ketika diminta menuliskan pemikirannya secara utuh langsung mlempem seperti krupuk disiram air. Hal ini sungguh memalukan dalam kancah dunia yang semakin modern dimana referensi bacaan dengan mudah bisa didapatkan lewat internet. Zaman sekarang anak SMP bisa menulis dalam dwi bahasa, Indonesia-Inggris, sementara kader-kader PRD lumpuh layu kemampuan literasinya.
Memang masih ada yang menulis seperti Hari "Begy" Subagyo. Hal ini cukup menggembirakan. Sesenior Hari Subagyo masih sempat menuangkan gagasan lewat tulisan. Namun sayang, dengan jam terbang yang panjang dari era Sosro sampai era Eep, tulisannya masih datar. Seperti takut berpolemik sehingga dari awal sampai akhir kita hanya disuguhi deretan kata-kata saja. Sebagai pembaca kita tidak bisa mencapai ejakulasi intelektual. Tidak ada tenaga dan emosinya. Takut tulisannya menyakiti pihak lain. Atau bisa dikatakan mencari aman. Bisa dibandingkan dengan tulisan Pramoedya Ananta Toer di Lentera dalam polemik dengan Manikebu. Tulisannya begitu kuat. Diksi-diksinya begitu memikat. Sarkasmenya begitu mengena sehingga lawan polemik bergelimpangan. Atau kalau dianggap kejahuan, bandingkan dengan tulisan-tulisan Pimred Pembebasan, Muhamad Maruf. Lawan yang membaca tulisan Muhamad Maruf di Pembebasan pasti akan merah telinganya. Atau tulisan-tulisan lama I Gusti Anom Astika dengan referensi yang kuat dalam polemik. Dengan sadukan-sadukan yang mengena ulu hati. Sekarang kita tak mendapatkan semua itu.
Kembali ke pembahasan awal, pertarungan antar kader PRD yang berada di tiga kubu bukan untuk menilai mana yang benar dan salah, tapi bagaimana bisa terlibat dalam kekuasaan. Bila kader-kader PRD bertarung secara sungguh-sungguh maka akan dilihat oleh masing-masing tim capres cawapres. Dengan begitu akan terbangun persepsi begitu dahsyatnya kerja-kerja genk PRD dalam Pilpres yang sangat menentukan hasil akhir pertarungan. Dengan begitu, siapapun yang menang harus memberikan porsi spesial buat kader-kader PRD.
Jika kader-kader PRD bekerja keras memenangkan jagaoannya, bila menang maka berhak menuntut hak atas kue kekuasaan. Sehingga bila Prabowo-Gibran menang maka Budiman bisa menuntut jatah menteri desa, Agus Jabo sebagai kepala BIN atau Haris Rusli Moti menjadi sekretaris kabinet. Bila Anies-Imin menang maka Faisol Reza bisa menuntut jabatan menteri pemuda dan olah raga, Yakobus Eko Kurniawan sebagai menteri agama atau Dita Sari menjadi menteri tenaga kerja. Bila Ganjar Mahfud menang maka Petrus harus mendapatkan jatah menteri sosial, Zul Amrozi sebagai menkominfo, Iwan Dwi Laksono sebagai Kepala KSP, Kelik Ismunanto sebagai kepala BP2MI, atau Waskito Giri Sasongko sebagai dirjen kebudayaan.
Jabatan-jabatan itu wajar didapatkan karena telah berkeringat dalam pertarungan memenangkan jagoan masing-masing. Sudah mengorbakan perkawanan karena beda dukungan. Sudah saling caci maki dengan kawan sendiri untuk membeĺa yang didukung. Semua pengorbanan itu tentu harus dibalas dengan jabatan yang setimpal. Semua itu hal yang wajar dan sah-sah saja.
Kita bisa menghitung sendiri berapa lapangan kerja yang tersedia bila kader-kader PRD bisa menuntut kepada borjuasi yang memenangkan pertarungan untuk memberikan jabatan atas dukungan yang diberikan. Mulai dari menteri, wakil menteri, staf khusus, dirjen hingga komisaris. Dengan begitu kader-kader PRD bisa mewarnai pemerintahan. Melakukan intervensi terhadap berbagai kebijakan sehingga bisa menguntungkan kaum buruh, tani maupun kaum miskin perkotaan. Bisa mengontrol jalannya kekuasaan sehingga proses revolusi demokratik bisa berjalan dengan konsisten.
Semua itu memang memerlukan perjuangan yang tak mudah, bahkan bisa berdarah-darah. Maka sikat dengan keras kawan yang tak sekubu. Hajar sampai babak belur. Permalukan di depan umum. Dengan begitu kerja-kerja kader PRD akan dilihat oleh kubu yang didukung.
Setelah Pilpres usai usahakan bersatu kembali. Tak ada pertempuran yang tak usai. Tugas yang memposisikan sebagai begawan seperti Sahanudin Hamcrut, S.Fil aka Hamcrut adalah menggelar acara rekonsiliasi nasional kader-kader PRD di Keboen Damai. Bukankah indah kalau ceritanya seperti itu? Damai di bumi, damai di hati.***
Komentar
Posting Komentar