Langsung ke konten utama

KECENGENGAN BUTET KARTAREDJASA

Dagangan "neo-Orba" ini memang hanya sebagai lelucon. Kita tahu di masa Megawati sebagai presiden setelah mencuri dari Gus Dur, pemerintahannya yang banyak menidas. Puluhan aktivis mahasiswa dipenjara karena menolak kebijakan Mega. Munir diracun juga terjadi di zaman Mega. Dan yang paling mengenaskan, Megalah yang menghidupkan kembali Daerah Operasi Militir di Aceh. Kita tahu dampaknya, ribuan rakyat Aceh ditangkap, dipenjara dan dibunuh

Oleh: Ragil Nugroho (Aktivis 96)

Guna menutupi pentasnya di Taman Ismail Marzuki (TIM) yang tidak ngangkat, sepi dari pemberitaan, maka Butet menggelar pentas di luar panggung. Dalam pentasnya di luar panggung, Butet memerankan diri sebagai sosok yang diintimidasi. Dengan raut muka dimelas-melaskan, dia menampilkan diri seolah-olah tertekan. Untung air matanya tidak tumpah, hanya suaranya dibikin terbata-bata. 

Tentu saja maksud pentas Butet di luar panggung ini untuk menarik simpati politik. Sudah jamak diketahui, dia pendukung Ganjar. Dengan aktingnya tersebut, Butet tentu berharap bahwa lagu "neo Orba" mendapat pembenaran. Bahwa "neo Orba" bukan hantu. Bahwa Jokowi adalah tiran baru. Maka segera saja keluh kesahnya bahwa dia diteror sebelum pementasan langsung disaut oleh Hasto, sekjen PDIP. Dari kubu mereka mulai menembangkan lagu yang sama. Tentu saja sang agen CIA, Goenawan Mohamad tak mau ketinggalan. Semua satu suara sebagai pihak yang teraniaya. Rengekan demi rengekan muncul satu persatu, saut menyaut seperti nyanyian burung kedasih. Sebagai yang selama ini pihak yang menindas, sekarang  menempatkan diri sebagai pihak yang paling tertindas. 

Kita tahu, sifat muka dua pendukung Ganjar dan PDIP ini sudah tidak ketulungan. Selama ini kita lihat dengan telanjang, pihak mereka yang sering melakukan persekusi. Contoh kecil saja, beberapa waktu lalu Rocky Gerung di buru-buru oleh massa dan simpatisan PDIP di Yogyakarta. Saat itu mereka tak bersuara. Apakah Butet menggelar konferensi pers waktu itu dengan wajah memelas? Apakah Hasto mengutuk kejadian saat itu dengan berderai air mata? Tentu tidak. Baru sekaranglah mereka merasa sebagai pihak yang terzolimi di dunia dan akhirat. Itulah bentuk kemunafikan mereka. Rasa kemanusian hanya berlaku bila pihaknya yang teraniaya. Bila menimpa orang lain sikap mereka masa bodoh. Mereka akan bilang, "Emang gue pikirin."

Sandiwara Butet di luar panggung ini rupanya juga gagal, tidak mampu menarik simpati publik. Pihak polisi dan panitia penyelenggara sudah membantah adanya intimidasi. Sewaktu pentas juga aman-aman saja. Kejadian ini hanya memperlihatkan begitu cengengnya Butet. Dia sudah terkaing-kaing walaupun tak tergores seincipun. Seperti anjing yang sedang kawin, dia ribut sendiri. Paslah ketemu Hasto dan Goenawan Mohamad sebagai aktor melodrama.

Seniman-seniman terdahulu tak pernah secengeng Butet. Pramoedya Ananta Toer yang selama 14 tahun diterungku di Pulau Buru, tak pernah cengeng. WS Rendra yang pentasnya di TIM dilempar bom amoniak tak pernah cengeng. Wiji Thukul yang sudah seringkali mendapatkan teror tetap berdiri tegak. Sementara Butet begitu mengembik-ngembik seperti mau disembelih. Inilah yang membedakan seniman sejati dengan seniman medioker seperti Butet. Entah mengapa para pendukung Ganjar tumbuh sebagai pribadi yang cengeng.

Dagangan "neo-Orba" ini memang hanya sebagai lelucon. Kita tahu di masa Megawati sebagai presiden setelah mencuri dari Gus Dur, pemerintahannya yang banyak menidas. Puluhan aktivis mahasiswa dipenjara karena menolak kebijakan Mega. Munir diracun juga terjadi di zaman Mega. Dan yang paling mengenaskan, Megalah yang menghidupkan kembali Daerah Operasi Militir di Aceh. Kita tahu dampakanya, ribuan rakyat Aceh ditangkap, dipenjara dan dibunuh. Peristiwa ini menimbulkan rasa traumatik yang berkepanjangan bagi rakyat Aceh. Sepanjang sejarah presiden pasca Orba, Megalah presiden yang banyak membungkam kebebasan berpendapat. 

Sebagai seniman medioker, Butet sudah menunjukkan karakter manipulatifnya. Dengan melakukan penipuan sebagai pihak yang terintimidasi, dia berusaha menggiring orang agar percaya "neo-Orba" ada. Dia ingin menciptakan ketakutakan sebagaimana Orde Baru membangkitkan bahaya laten komunis. Dengan begitu, Butet dan barisannyalah yang memakai gaya Orba dalam berpolitik: menakut-nakuti rakyat dengan berbagai Hantu. 

Akan ada drama-drama lain yang akan dibuat Butet dan barisannya. Mereka sudah tak mampu lagi menarik simpati publik. Jualan air mata, derita dan nestapa tak mendapatkan dukungan lagi. Rakyat sudah muak dengan arogansi mereka selama ini. Air mata tak lagi menghibur rakyat. Entah kalau mereka mau bunuh diri massal, mungkin rakyat akan tertarik menontonnya. 

Ayo, Tet. Ajak barisanmu bunuh diri massal di TIM. Mungkin akan menjadi pentas terakbar abad ini.***


Komentar

Postingan populer dari blog ini

SENJAKALA PDIP

Sepertinya PDIP sudah kesulitan membendung arus balik politik. Kanjeng Mami semakin ditinggalkan wong cilik. Oleh: Ragil Nugroho (Penikmat ikan koi) Aktivis tani era 90an yang pernah dicabut kumisnya oleh introgrator ketika tertangkap, Hari Gombloh, mengungkapkan bahwa pendukung Ganjar di tapal Kulonprogo tipis alias kecil. Padahal, beber warga Brosot ini, Kulonprogo merupakan salah satu kandang Banteng. Menurutnya, ini wajar karena Kulonprogo dekat dengan Wadas. Seperti kita tahu, selama beberapa tahun Wadas merupakan titik episentrum perlawanan terhadap Ganjar dan PDIP. Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, ada ungkapan, " Sadumuk bathuk sanyari bumi ". Ungkapan ini bermakna bahwa satu sentuhan pada dahi dan satu pengurangan ukuran atas tanah (bumi) selebar jari saja bisa dibayar, dibela dengan nyawa (pati). Bagi orang Jawa, tanah adalah kehormatan dan harga diri. Sebagaimana sentuhan pada dahi yang menurut orang Jawa adalah penghinaan, maka penyerobotan tanah walaupun han