Langsung ke konten utama

YANG LENYAP DAN TAK KEMBALI DI ZAMAN MEGAWATI

Muklis dan Zulfikar merupakan noda hitam dan berdarah-darah rezim Megawati. Sejarah telah mengguratkan dalam prasasti ingatan bangsa Indonesia siapa saja yang lenyap dan tak kembali di zaman rezim Megawati.

Oleh: Ragil Nugroho (Aktivis 96)

Motinggo Busye pernah menulis cerita pendek di Harian Kompas berjudul Dua Tengkorak Kepala. Berlatar Aceh, cerpen tersebut berkisah tentang dua tengkorak kepala. Dua tengkorak itu ada lubang peluru. Satu peluru tentara Jepang, satu peluru berasal dari tentara Indonesia. Motinggo ingin mengatakan, nasib rakyat Aceh sama saja di masa pendudukan Jepang dan Indonesia, menjadi korban pembantaian.

Para korban kekerasan di Aceh dalam cerpen Motinggo merupakan bagian dari yang lenyap namun masih kembali walaupun hanya tinggal tengkoraknya. Namun, banyak pula yang lenyap dan tak kembali. Zulfikar dan Mukhlis merupakan beberapa korban yang lenyap dan tak kembali. Zulfikar mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Ar Raniry dan Mukhlis mahasiswa Fakultas Syariah dari kampus yang sama. Bagaimana keduanya diculik?

Semua bermula dari tanda tangan Megawati, presiden kala itu. Jelang tengah malam 18 Mei 2003, Megawati masih terjaga. Di depannya ada Keppres Nomor 28 Tahun 2003 tentang Pernyataan Keadaan Bahaya dengan Tingkatan Keadaan Darurat Militer di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Tenggah malam itu, Megawati membubuhkan tanda tangannya. Inilah babak berdarah-darah rakyat Aceh pasca reformasi. Darurat Militer diberlakukan di Aceh. Tak mengherankan kalau kemudian Aceh berubah serupa jalur Gaza.

Dari berbagai laporan, 30.000 TNI bersama 12.000 polisi dikirim ke Aceh, menambah sejumlah pasukan yang telah ada sebelumnya. Inilah pengiriman pasukan besar-besaran pasukan ke Aceh setelah era Orde Baru. Aceh dijadikan medan pemburuan baru oleh Megawati. Dengan tangan dingin, Megawati memerintahkan anggota GAM atau siapa saja yang dituduh GAM untuk ditangkap hidup atau mati. 

Dasyat betul penderitaan rakyat Aceh di bawah rezim Megawati, sebanding rezim Pol Pot di Kamboja yang menindas rakyat sebangsanya sendiri. Aceh benar-benar memerah bukan karena senja yang indah, tapi karena banjir darah. Wajah matahari dan rembulan berwarna merah darah. Setiap hari ada jerit kematian. Setiap waktu ada ibu yang kehilangan anak maupun suami. Ratusan ribu peluru ditembakkan. Beribu ribu penderitaan harus dipanggul rakyat Aceh. Rakyat Aceh benar-benar tenggelam dalam duka dan nestapa. Setiap warga yang keluar dari desanya harus meninggalkan KTP, mengisi form dari mana, mau kemana, keperluannya apa dan jam berapa kembali. Bila jawaban meragukan akan di intograsi kembali. Penjajah Belanda dan Jepang pun minder melihat kekejaman rezim Megawati di Aceh. 

Amnesty International melaporkan sewaktu Darurat Militer, sekitar 200.000 orang Aceh terpaksa tinggal di kamp pengungsian. Sementara itu, sebanyak 2.879 anggota GAM tewas sejak Mei 2003, dan 147 warga sipil meregang nyawa selama Mei 2003 - Februari 2004. Masih banyak korban-korban yang tak tercatat. Korban sebanyak itu hanya terjadi sepanjang 6 bulan. Maka pembantaian tersebut memang dilakukan secara sistimatis, semacam genosida.


Kenapa warga sipil mengungsi? Karena atas perintah Megawati, tentara dan polisi harus menggiring rakyat Aceh dari kampung-kampung ke pengungsian. Alasannya agar para anggota GAM terpisah dari rakyat. Perlakuan rezim Megawati ini mirip yang dilakukan Nazi Jerman ketika menggiring orang-orang Yuhudi ke kamp-kamp konsentrasi. Persis juga yang saat ini dilakukan zionis Israel terhadap warga Palestina. Inilah bentuk penindasan Megawati kepada rakyat Aceh. Padahal, beberapa tahun sebelumnya ketika berpidato di Aceh, Megawati menangis tersedu-sedu. Ternyata air mata Megawati sama dengan air mata Hasto, air mata buaya.

Para aktivis Aceh yang memperjuangkan demokrasi di kejar-kejar. Kautsar, aktivis SMUR, misalnya, ditangkap karena menentang Exon Mobil. Setelah lepas dari penjara selama 6 bulan, guna menyelamatkan diri sergapan tentara semasa Darurat Militer, dia lari ke hutan, bergabung dengan gerilyawan. Sementara aktivis perempuan Reyhan Diani ditangkap karena membakar foto Mega-Hamzah sebagai bentuk protes terhadap rezim Megawati. Setelah lepas dari penjara dia lari ke Jakarta untuk melepaskan diri jaring merah operasi militer. 

Kasus serupa juga terjadi di berbagai kota, seperti Yogyakarta, Mahendra, ketua LMND Yogya dan seorang pengamanen dipenjara 3 tahun karena membakar foto Mega-Hamzah. Sementara Suryanta Ginting, anggota LMND Yogyakarta dibacok kepalanya ketika demonstrasi menentang rezim Mega. Di Palu, Bahrun Mustofa dkk, juga di penjara dengan kasus serupa. Begitu pula yang terjadi di Jakarta, Surabaya dan kota-kota lain. Kebengisan rezim Megawati dalam membungkam gerakan demokrasi memang laur biasa. Sebelas dua belas dengan rezim Soeharto. Tak tanggung-tanggung. Kata "demokrasi" dalam PDIP hanyalah bualan kosong.

Sementara yang lain bebas dan selamat, dua orang kader PRD/SMUR diculik satuan tentara sewaktu advokasi janda DOM di Lhokseumawe. Mereka adalah Muklis dan Zulfikar. Sampai kini mayatnya belum ditemukan. Ibunya sudah mencari kemana-mana namun nihil. Keduanya menjadi korban penculikan akibat keganasan rezim Ibu Mega sewaktu Darurat Militer di Aceh.

Kisah ibu Zulfikar dan Muklis mengingatkan pada sosok Camelia dalam novel Asturias, Tuan Presiden. Setiap hari Camelia duduk di depan jendela, menunggu suaminya yang diculik kembali. Namun upaya menunggu itu tak pernah menemukan jawaban. Suami Camelia tak pernah kembali. Pun, Muklis dan Zulfikar. 

Selama ini seolah-olah kasus penculikan hanya terjadi di Jawa. Akibatnya, kasus penculikan seperti yang dialami oleh Muklis dan Zulfikar di Aceh sewaktu rezim Megawati, tenggelam. Padahal sampai kini kasus penculikan tersebut tak pernah diselesaikan. Tidak ada pihak yang perlu menyatakan diri bertanggungjawab. Seperti halnya kasus pembunuhan Munir yang juga terjadi di era rezim Megawati, semuanya gelap dan tertutup rapat. 

Para aktivis di Jakarta tidak pernah menyuarakan hilangnya Muklis dan Zulfikar. Para aktivis yang biasa muncul setiap lima tahun sekali dengan tagar "kembalikan kawan kami", tak pernah menyebutkan nama Muklis dan Zulfikar. Mungkin nama keduanya tidak laku dijadikan dagangan politik sehingga tak muncul dalam peringatan Hari HAM, 10 Desember. Mungkin nama keduanya adalah nama yang tak berarti untuk dijadikan bahan propaganda menyerang lawan politik. 

PDIP sebagai partai utama penyokong rezim Megawati kala itu, sekarang justru bermain drama-dramaan tentang bahaya neo-Orba. Seolah-olah mereka adalah kekuatan politik yang putih suci dan bersih dari noda-noda melakukan penindasan. Inilah yang banyak dikatakan banyak orang ketika sekarang PDIP sedang menjalankan sandiwara berjudul "Maling berteriak maling." Kita tentu tak bisa berharap pada partai semacam PDIP. Kita tak bisa berharap Hasto menjadi juru bicara menyuarakan penculikan Zulfikar dan Muklis. Berharap pada PDIP seperti burung pungguk yang yang berharap pada rembulan. Sia-sia saja. 

Sudah tercatat dengan tinta hitam bahwa rezim Megawati telah melakukan pinindasan di Aceh dan daerah-daerah lainnya. Muklis dan Zulfikar merupakan noda hitam dan berdarah-darah rezim Megawati. Sejarah telah mengguratkan dalam prasasti ingatan bangsa Indonesia siapa saja yang lenyap dan tak kembali di zaman rezim Megawati.***







.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

SENJAKALA PDIP

Sepertinya PDIP sudah kesulitan membendung arus balik politik. Kanjeng Mami semakin ditinggalkan wong cilik. Oleh: Ragil Nugroho (Penikmat ikan koi) Aktivis tani era 90an yang pernah dicabut kumisnya oleh introgrator ketika tertangkap, Hari Gombloh, mengungkapkan bahwa pendukung Ganjar di tapal Kulonprogo tipis alias kecil. Padahal, beber warga Brosot ini, Kulonprogo merupakan salah satu kandang Banteng. Menurutnya, ini wajar karena Kulonprogo dekat dengan Wadas. Seperti kita tahu, selama beberapa tahun Wadas merupakan titik episentrum perlawanan terhadap Ganjar dan PDIP. Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, ada ungkapan, " Sadumuk bathuk sanyari bumi ". Ungkapan ini bermakna bahwa satu sentuhan pada dahi dan satu pengurangan ukuran atas tanah (bumi) selebar jari saja bisa dibayar, dibela dengan nyawa (pati). Bagi orang Jawa, tanah adalah kehormatan dan harga diri. Sebagaimana sentuhan pada dahi yang menurut orang Jawa adalah penghinaan, maka penyerobotan tanah walaupun han