Langsung ke konten utama

PRD IDEOLOGIS VS PRD ROMANTIS: ANTARA REALISME POLITIK DAN HUMANISME UNIVERSAL

Serangan Petrus kepada Budiman lebih seperti serangan anak kecil yang lebih banyak berisi rajukan, tidak ideologis dan tanpa stratak yang jelas. Kalau Petrus memiliki massa, dia bisa menyeret Budiman ke Pengadilan Rakyat karena dianggap berkhianat. Namun karena hanya gerbong kosong, Petrus sebatas meratap atas pilihan politik Budiman.

Oleh: Ragil Nugroho (Penulis Tema Kekiri-Kirian)

Selain pertarungan antar pendukung copras capres dalam Pemilu 2024, ada pertempuran lain yang tak kalah dahsyatnya, yaitu PRD Ideologis vs PRD Romantis. Budiman Sudjatmiko menjadi simbol PRD Ideologis, sementara Petrus H Hariyanto menjadi simbol PRD Romantis. Bila ditarik ke masa Uni Soviet, inilah pertarungan antara Stalin vs Trotsky. Siapakah yang unggul? Marilah kita gelar tikar untuk menyaksikan pertarungan dua kubu itu.

PRD Ideologis bicara tentang gagasan masa depan. Menguraikan bagaimana kekuasaan pasca Jokowi bisa dilanjutkan dan didorong maju. Membahas Indonesia modern dengan hilirisasi, industrialisasi pertanian dengan food estate, membangun infrastruktur untuk menyatukan wilayah Indonesia sampai pelosok, menjadikan IKN sebagai sumbu baru Indonesia. Tentu saja untuk itu dibutuhkan strategi dan taktik jangka pendek, menengah dan panjang. Inilah yang hendak diperjuangkan mereka dengan segenap hati dan pikiran.

Sementara itu, PRD Romantis bicara tentang masa lalu. Kegalauan tentang kawan-kawannya yang hilang dan belum kembali. Atau tentang peristiwa romantis, rezim otoriter, hantu neo Orba atau solidaritas antar kawan disaat duka dan lara. Mereka melihat Indonesia hari ini dengan masa lalu. Memandang Indonesia masa depan dengan kerisaun orang tua tentang masa depan anak-anaknya. Melihat hari depan serba semenjana. Yang mereka putar adalah tembang kenangan tentang keperwiraan di masa muda. Bagi mereka, hari telah berhenti di masa lampau nun jauh di sana, di batas cakrawala masa yang telah usai. Sedangkan hari ini dan masa depan adalah mimpi buruk kebangkitan Laviatan atau Betoro Kolo.

Sejauh ini, kubu PRD Ideologis lebih memiliki kekuatan yang mengakar, menjangkar ke bumi. Budiman Sudjatmiko didukung oleh struktur relawan Prabu. Dalam mobilisasi massa di Lampung beberapa waktu lalu, mereka mampu mengerahkan massa ribuan. Di kubu ini ada juga Agus Jabo dengan partai Prima. Menghadapi Pemilu, mereka membangun 5000 posko pemenangan Prabowo-Gibran di Jawa Tengah. Ada pula sosok Andi Arief dengan kekuatan Partai Demokrat. Budiman, Agus Jabo dan Andi Arief merupakan tiga jangkar PRD Ideologis yang tangguh dengan pengalaman politik yang panjang.

Masih di kubu PRD Ideologis ada Ikhyar "Cesper" Valayati. Dia hadir dengan RPN (Relawan Persatuan Nasional) dengan jaringan nasionalnya. Kekuatan terbesar mereka ada di Sumatera Utara. Di Solo ada Prijo Wasono yang dekat dengan relawan  Bolone Mase, dengan basis yang luas pula. Bolone Mase diisiasi sebagian besar oleh aktivis UMS 98 (SMPTA). Nama-nama beken seperti Bin Bin Firman Trisnadi, Dominggus Oktavianus, Panel Barus hingga Haris Rusli Moti bergabung di TPN Prabowo-Gibran. Tentu masih banyak lagi nama-nama di kubu PRD Ideologis. Secara ringkas mereka bekerja membesarkan struktur guna menggaet massa sebanyak-banyaknya, bukan berhenti di wacana.

Sementara itu, di kubu PRD Romantis, Petrus H Hariyanto terlihat sendirian. Mungkin teman-teman setianya hanya sebiji dan dua biji anggota grup KBRD (Keluarga Besar Partai Rakyat Demokratik). Tak mengherankan kalau Petrus memilih menjadi tunggangan kelompok NGO dan buzer-buzer mantan pendukung Jokowi seperti Denny Siregar, Eko Kuntadhi, Guntur Romli maupun akun anonim seperti Anak Kalong yang justru sudah kehilangan simpati publik karena sibuk menyerang Jokowi sekeluarga. Secara struktur, PRD Romantis ini sangat lemah. Hanya bermain di sosial media dengan isu-isu menjual kepedihan dan kesedihan dengan target menggaet air mata publik. Hal yang sulit karena generasi Z tidak paham apa yang mereka bicarakan.

Serangan Petrus kepada Budiman lebih seperti serangan anak kecil yang lebih banyak berisi rajukan, tidak ideologis dan tanpa stratak yang jelas. Kalau Petrus memiliki massa, dia bisa menyeret Budiman ke Pengadilan Rakyat karena dianggap berkhianat. Namun karena hanya gerbong kosong, Petrus sebatas meratap. 

Sementara yang terombang-ambing di antara PRD Ideologis (ingin perubahan) namun kadang-kadang menjadi PRD Romantis (kembali ke memori masa lalu) seperti Faisol Reza, H. Yakobus Eko Kurniawan, Dita Sari, terlihat kurang memberikan dukungan pada PRD Romantis, padahal musuh mereka sama: Prabowo-Gibran. Yang memiliki jaringan relawan pendukung Ganjar-Mahfud, seperti Iwan Dwi Laksono dengan Jaman, juga tak memberikan sokongan ke kelompok Petrus dkk. 

Di sisi lain, aktivis PRD senior seperti Hari "Begy" Subagyo lebih memilih menjadi konsultan politik dan mengamankan koper-koper dari serangan tikus dan landak, kita hanya bisa berharap rembesannya. Sementara yang lain seperti Hari "Gombloh" Sutanta walaupun sesama UNDIP dengan Petrus, juga tak memberikan sokongan. Aktivis PRD Solo yang begitu ditakuti karena tato pestol di perutnya, Hari Sindu, yang sepemikiran dengan PRD Romantis, lebih memilih berada di balik Pak Brengos dibandingkan memberikan dukungan kepada Petrus.

Selain PRD Ideologis dan Romantis, sebetulnya ada varian baru yaitu PRD Sosiologis. Dalam perkembangannya, kader-kader PRD telah beranak pinak. Anak-anak mereka inilah yang masuk dalam katagori PRD Sosiologis. Mereka sepemikiran dengan PRD Romantis. Mereka  tak punya KTA PRD, tidak pernah ikut kursus politik, tidak pernah tinggal di sekre atau dapat penugasan, namun sekarang lebih PRD dari PRD sendiri hanya karena ortunya elit PRD. Mereka dengan berani menghujat kader-kader PRD yang pernah dipenjara, diculik, ditahan, kena DO kuliah, dst. Sayangnya, mereka juga tidak memiliki basis massa. Kalau bahasa sekarang "gede bacot doang." Begitu juga dengan para NGO dan sebagian aktivis 98, dari teriakan mereka yang terdengar syahdu dan memelas, seakan mereka adalah korban penculikan dan kekejaman aparat, ikut menghantam PRD Ideologis.

Ada satu lagi sempalan. Sebut saja PRD Lombok Ijo. Mereka bimbang dalam melihat pertarungan elektoral. Mereka bisa dikenali dengan argumen seperti "siapapun yang menang kita tidak dapat apa-apa" atau argumen moral "semua calon tidak ada yang bagus". Cita-cita akhir mereka menjadi kaum "nihilis" atau "anarkis partikelir" dengan tujuan akhir menjadi golput. Karena sempalan dan kecil, tidak perlu dibahas lebih lanjut.

Dari lanskap kubu-kubu di atas, kita bisa melihat mana yang mempunyai kekuatan nyata dengan realisme politiknya, mana yang hanya bergerak di ranah humanisme universal. Kubu Stalin adalah petarung dengan berlandaskan kondisi obyektif. Sementara kubu Trosky selalu berada dalam igaun masa lalu yang tak pernah usai. Silakan nilai sendiri.***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SENJAKALA PDIP

Sepertinya PDIP sudah kesulitan membendung arus balik politik. Kanjeng Mami semakin ditinggalkan wong cilik. Oleh: Ragil Nugroho (Penikmat ikan koi) Aktivis tani era 90an yang pernah dicabut kumisnya oleh introgrator ketika tertangkap, Hari Gombloh, mengungkapkan bahwa pendukung Ganjar di tapal Kulonprogo tipis alias kecil. Padahal, beber warga Brosot ini, Kulonprogo merupakan salah satu kandang Banteng. Menurutnya, ini wajar karena Kulonprogo dekat dengan Wadas. Seperti kita tahu, selama beberapa tahun Wadas merupakan titik episentrum perlawanan terhadap Ganjar dan PDIP. Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, ada ungkapan, " Sadumuk bathuk sanyari bumi ". Ungkapan ini bermakna bahwa satu sentuhan pada dahi dan satu pengurangan ukuran atas tanah (bumi) selebar jari saja bisa dibayar, dibela dengan nyawa (pati). Bagi orang Jawa, tanah adalah kehormatan dan harga diri. Sebagaimana sentuhan pada dahi yang menurut orang Jawa adalah penghinaan, maka penyerobotan tanah walaupun han