Langsung ke konten utama

NDASMU

Ini menunjukkan bahwa Prabowo paham kultur masyarakatnya. Dia berusaha menggunakan bahasa pergaulan sehari-hari orang-orang kampung dalam pentas politik. 

Oleh: Ragil Nugroho

Kata-kata Prabowo di acara internal Partai Gerindra, "Ndasmu, etik," memantik perdebatan di media sosial. Oleh lawan-lawan politiknya, kata-kata tersebut digoreng sedemikian rupa untuk memojokkan Prabowo. Gorengan tersebut untuk mengkontruksikan bahwa Prabowo sebagai sosok yang kasar. Para politisi yang bermental priyayi juga berpandangan serupa. Padahal, Prabowo telah berjasa mengangkat bahasa orang-orang di pedesaan Jawa ketingkat politik nasional. 

Dalam kultur masyarakat di pedesaan Jawa, kata "ndasmu/kepalamu" merupakan bahasa pergaulan sehari-hari. Mereka mempergunakan dalam berbagai aktivitas, ketika mencangkul di ladang, kongkow-kongkow di pos ronda, atau ketika ada perkumpulan seperti yasinan maupun pertemuan RT. Selain kata "ndasmu", kata-kata lain yang sering digunakan seperti "matamu", "raimu/wajahmu", "utekmu/otakmu", "dapurmu/wajahmu", "dengkulmu", dan lain-lain. Kata-kata tersebut berhamburan tiap hari, tiap jam, tiap menit, tiap detik, dan tidak ada yang mempermasalahkan atau ada yang merasa tersinggung ketika diucapkan. 

Bahkan kata "asu/anjing" juga sering digunakan ketika berseloroh dengan kawan bicara. Dan kata yang paling populer, "jancuk" sudah menjadi makanan sehari-hari. Kata-kata tersebut sering dikombinasikan dengan kata lain, misalnya, "matamu picek/matamu buta", "utekmu sempal/otakmu sempal", atau "dapurmu kere/wajamu miskin." Itulah kekayaan bahasa masyarakat di pedesaan dengan keunikan masing-masing. Orang yang tak pernah bergaul dengan masyarakat desa akan asing dengan bahasa tersebut. 

Masyarakat di pedesaan punya bahasa sendiri. Orang kota menganggap bahasa tersebut kasar, tidak etis dan lain sebagainya. Inilah mentalitas warisan priyayi yang ingin melakukan penjajahan bahasa terhadap bahasa sehari-hari orang desa. Mereka berusaha memaksakan bahasa mana yang pantas atau tidak pantas diucapkan. Mereka hendak menjadi hakim terhadap penggunaan bahasa. Dan ini terlihat dalam pentas politik hari ini. Politisi priyayi berusaha mengkontruksi bahwa kata "ndasmu" bermakna kasar.

Bahasa "proletar" pedesaan tidak hanya dipakai oleh masyarakat kebanyakan, tetapi juga diacara pengajian-pengajian yang diampu gus maupuan kyai kampung. Kata "garangan", misalnya, sering dipakai Gus Idam--salah satu Gus yang lagi populer saat ini-- untuk menyebut jamaahnya. Dalam pengajian-pengajian Gus Miftah hingga Cak Nun, kata-kata "cangkemu", "dapurmu", "ndasmu", "matamu" hingga "jancuk" sering terdengar di pengajian-pengajian mereka. Bahkan kata "asu" bisa terlontar dengan santun dan santuy tanpa ada pihak yang tersinggung. Semua mengalir begitu saja, baik pengucap maupun yang hadir bisa tertawa terbahak-bahak, saling meledek satu dengan yang lain.

Apakah para gus atau kyai di kampung-kampung itu tak beradab, kasar, tak bertetika dalam berbahasa? Tentu saja tidak. Mereka justru memakai bahasa rakyat agar bisa interaktif dan komunikatif agar materi ceramah mereka mudah diterima. Agar tidak ada jarak antara jamaah dengan pemberi ceramah. Terbukti metode ini berhasil. Ribuan orang menghadiri pengajian mereka. Dan gus atau kyai tersebut memiliki banyak sekali penggemar. Dengan begitu suasana pengajian bisa cair dan penuh dengan ger-geran, bukan gegeran. 

Prabowo juga dalam upaya untuk lebih komunikatif dan interaktif dengan kader-kader partainya. Ini menunjukkan bahwa Prabowo paham kultur masyarakatnya. Dia berusaha menggunakan bahasa pergaulan sehari-hari orang-orang kampung dalam pentas politik. Inilah yang membuat banyak orang terperanjat. Mereka menganggap bahasa orang kampung merupakan bahasa jalanan, bahasa kaum tak terdidik, bahasa udik, yang tak boleh masuk dalam kosa kata bahasa politik kaum priyayi. 

Harus diakui, politik di Indonesia masih didominasi kaum priyayi. Mereka berusaha menggunakan bahasa yang seolah-olah intelek, halus, penuh tata krama, padahal tidak dipahami oleh rakyat. Mereka sangat gemar menggunakan kata serapan asing seperti "partisipatoris", "diskursus", "retorika" dan lain sebagainya untuk menunjukkan kepriyanyian sekaligus keintelektualan. Padahal rakyat tak mengerti kata-kata mereka. Tapi tetap saja mereka cas-cis-cus dan berbangga diri.  Tak mengherankan kalau rakyat tak tertarik dengan program mereka karena memang tidak memahaminya.

Prabowo justru jitu. Dia mengangkat bahasa desa ketingkat nasional. Dia memperlihatkan dirinya tak berjarak dengan masyarakat di kampung-kampung. Dia menggunakan bahasa yang gue banget bagi orang-orang desa.***


Komentar

Postingan populer dari blog ini

SENJAKALA PDIP

Sepertinya PDIP sudah kesulitan membendung arus balik politik. Kanjeng Mami semakin ditinggalkan wong cilik. Oleh: Ragil Nugroho (Penikmat ikan koi) Aktivis tani era 90an yang pernah dicabut kumisnya oleh introgrator ketika tertangkap, Hari Gombloh, mengungkapkan bahwa pendukung Ganjar di tapal Kulonprogo tipis alias kecil. Padahal, beber warga Brosot ini, Kulonprogo merupakan salah satu kandang Banteng. Menurutnya, ini wajar karena Kulonprogo dekat dengan Wadas. Seperti kita tahu, selama beberapa tahun Wadas merupakan titik episentrum perlawanan terhadap Ganjar dan PDIP. Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, ada ungkapan, " Sadumuk bathuk sanyari bumi ". Ungkapan ini bermakna bahwa satu sentuhan pada dahi dan satu pengurangan ukuran atas tanah (bumi) selebar jari saja bisa dibayar, dibela dengan nyawa (pati). Bagi orang Jawa, tanah adalah kehormatan dan harga diri. Sebagaimana sentuhan pada dahi yang menurut orang Jawa adalah penghinaan, maka penyerobotan tanah walaupun han