Langsung ke konten utama

GIBRAN WAE

Mahfud dibuat kejang-kejang oleh bocil Solo itu. Pertanyaan Gibran kepada Mahfud begitu tajam sehingga Mahfud emosional

Oleh: Ragil Nugroho

Dalam acara Kopdarnas Partai SoIidaritas Indonesia (PSI) di Tennis Indoor Senayan, 22 Agustus 2023, Yenny Wahid menyanyikan lagu  Guns N' Roses, Sweet Child O'mine. Menariknya, ketika memasuki reff:

Whoa, oh, oh

Sweet child o' mine

Whoa whoa, oh, oh, oh

Sweet love of mine

Liriknya oleh Yenny diubah menjadi:

Whoa, oh, oh

Gibran wae

Whoa whoa, oh, oh, oh

Gibran wae

Lagu Yenny Wahid seolah menjadi petanda Gibran akan maju dalam pertarungan Pilpres 2024. Dan, tanda itu kini menjadikan kenyataan. Fenomena Gibran wae (saja) telah menyebar ke penjuru Nusantara. Dia dianggap sebagai pengejawantahan anak muda dalam pentas politik nasional. Dan, yang terpenting dari semua itu adalah munculnya borjuasi baru dalam Pilpres 2024, borjuasi yang tumbuh dan lahir pasca Orde Baru.

Debat  cawapres yang digelar KPU pada Jumat malam memperlihatkan kapasitas Gibran. Dia mampu membuat dua kandidat lain bertekuk lutut. Dia mampu tampil memukau dengan gaya, intonasi dan diksi-diksi anak muda. Pertarungan dalam debat cawapres malam itu memang berat sebelah. Dua generasi pasca perang harus menghadapi generasi AI. Tak mengherankan kalau Gibran menjadi sri panggung dalam pentas debat.

Kita tak tahu bagaimana perasaan Butet ketika melihat acara debat itu. Apakah dia akan menangis meraung-raung karena jagoannya dibikin menjadi ayam sayur? Apakah dia akan lari telanjang mengitari Malioboro, sembari teriak, "Asuuwok!Asuuwok!"? Pada akhirnya Tuhan bekerja dengan caranya sendiri, siapa yang merendahkan orang lain akan direndahkan. 

Kita juga tidak tahu reaksi Hasto setelah debat. Apakah dia akan menangis sakau di ponjokan toilet sembari mencret-mencret? Atau kita juga tidak tahu reaksi Panda Nababan yang menyebut Gibran sebagai anak ingusan, bocil dan karbitan? Mungkin dia memilih masuk penjara lagi daripada malu di depan publik. Kita tak bisa menebak reaksi Masinton Pasaribu yang telah menistakan Gibran. Kalau bisa, pasca debat sebaiknya kita menjahui Masinton agar tidak kena gampar batu akiknya. 

Debat cawapres Jumat malam menunjukkan kapasitas anak muda di atas generasi pasca perang. Artikulasi Gibran memperlihatkan cara pikir anak muda yang berpikiran maju. Saat politisi kawakan seperti Mahfud lari-lari kuda bahwa jawaban segala soal adalah hukum, sementara Muhaimin tampil terbata-bata mungkin merasa bersalah karena mengkhinati Gus Dur, Gibran justru yang awalnya diremehkan tampil memukau. Mungkin saja ia mempelajari Poetika dan Retorika karya Aristoteles sehingga dari segi penampilan panggung maupun retorika dalam berargumentasi bisa dilakukan dengan baik.

Sebelum debat Mahfud berseloroh siap debat tema apa saja termasuk lomba goreng martabak. Dia juga mengatakan bahwa musuh terberatnya Muhaimin. Tapi pas di atas panggung terbata-bata ketika mendapat pertanyaan tentang carbon capture storage. Dari sini terlihat bahwa Mahfud tidak mengikuti perkembangan zaman. Tidak memahami bahwa sekarang sedang tren ekonomi hijau. Maka tak mengherankan kalau jawabannya sebagai solusi masalah CCS adalah membuat naskah akadamik. Tentu hal ini menggelikan.

Sementara itu Muhaimin tampil di bawah standar. Dia terbelit sarungnya sendiri. Puncaknya ketika ditanya tentang CGIE dia mengibarkan bendera putih. Tentu ini tamparan bagi dirinya. Seorang politisi senior yang berhasil mengkudeta Gus Dur dari PKB, mati kutu di hadapan bocil Solo. Terlihat dia tak menguasai debat. Tak mengherankan kalau dia menyembunyikan diri di balik kata slepet yang diulang puluhan kali seperti merapalkan mantra. 

Visi Gibran jelas. Dia memaparkan Indonesia harus keluar dari kultur agraris ke kultur industri. Maka ia tekankan hilirisasi dan ekonomi digital. Zaman telah berubah. Dunia sedang memasuki renaisance gelombang kedua. Teknologi merevolusi dirinya. Dan kita harus siap menghadapi itu. Dan landasannya harus dibangun mulai hari ini. 

Visi Gibran jelas. Indonesia harus keluar dari negara berkembang, masuk menjadi negara maju. Oleh karena itu, sumber daya manusia harus disiapkan. Bonus demografi harus dimanfaatkan sebaik mungkin.  Jalan kapitalisme modern telah dipersiapkan oleh Jokowi harus dilanjutkan.

Dalam debat kedua cawapres Minggu malam, Gibran kembali menjadi bintang panggung. Dia tampil lebih teaterikal. Seperti pemain teater kawakan, dia mempermainkan kedua lawan debatnya. Kostum dia siapkan dengan sebaik mungkin. Karakter Naruto yang dia pakai merupakan simbol dari pemberontakan orang yang selalu direndahkan kemudian bisa tampil mengubah keadaan. 

Mahfud dibuat kejang-kejang oleh bocil Solo itu. Pertanyaan Gibran kepada Mahfud begitu tajam sehingga Mahfud emosional. Ada kecongkakan intelektual dalam diri Mahfud. Tapi sebagai pemain game PUBG, Gibran sudah terbiasa melakukan serangan ke kubu lawan. Karakter Mahfud adalah generasi masa lalu yang masih digandoli watak feodalisme. Merasa terintimidasi dengan ulah petugas parkir Solo,  Mahfud tak mampu lagi memberikan jawaban dan sembunyi di balik topeng receh. Lawan Mahfud memang bukan Gibran sebetulnya, cukup Habiburahman saja.

Nasib serupa juga dialami Muhaimin. Sebagai politisi yang sudah malang melintang dengan menyeret kardus durian, dia hanya jadi bahan mainan Gibran. Senggolan-senggolan Gibran membuat Muhaimin salah tingkah. Dari segi subtansi, pertanyaan Gibran juga tak mampu dijawab. Debat ini menunjukkan kemampuan Gibran dalam mendekte permainan Muhaimin.

Akibat tak berdaya di arena debat, kubu Mahfud dan Muhaimin menggeser ke arena etika. Tokoh-tokoh semacam Alisa Wahid tergepoh-goboh bicara etika. Namun argumentasinya belepotan. Pandangannya digandoli romantisme feodal tentang hubungan orangtua dengan anak muda. Pandangannya kuno, anak muda tak boleh tampil ugal-ugalan di hapan orang tua. Alisa tak sadar, negara ini diubah oleh anak-anak muda yang ugal-ugalan. Kalau tak ada anak muda ugal-ugalan, Ken Arok tak akan mendirikan Singasari, Soeharto tak akan bisa ditumbangkan. Usaha menggeser debat dari subtansi ke etika ini hanya membentur-bentur tembok goa yang kosong, suaranya hanya memantul-mantul masuk ke telinga sendiri. 

Dari segi subtansi lagi-lagi Gibran paling paham probelem kapitalisme. Sejak kolonialisme masuk ke Indonesia, industrialisasi tersendat-sendat. Industri dasar yang sumbur daya alamnya melimpah ruah tak pernah diolah secara maksimal, hanya dijual gelondongan ke luar negeri. Akibatnya, Indonesia tak punya basis industri yang kokoh. Padahal kunci kemajuan kapitalisme adalah industri modern yang didukung oleh infrastruktur yang merata untuk menyatukan suatu bangsa dalam satu corak produksi kapitalime.

Problem kapitalisme Indonesia tersebut dipahami oleh Gibran. Maka dia berangkat dari cara mengkonsistenkan corak produksi kapitalisme melalui hilirisasi. Gibran berangkat dari basis: corak produksi. Pendiriannya masih konsisten dengan debat pertama cawapres. Tanpa mengkonsistenkan basis, maka suprastruktur akan tetap bermasalah. Kapitalisme harus terus didorong sekonsisten-konsistennya. Bukan lagi kapitalisme yang terbelakang yang dikepung oleh kroni-kroni borjuasi yang manja sebagaimana zaman Orde Baru. Hilirisasi adalah kata kunci. Tanpa hilirisasi tak akan dialektika antara basis dan supra struktur, antara corak produksi dengan tenaga produksi. Tanpa itu, kapitalisme Indonesia akan tetap terbelakang.

Dalam bidang pertanian,Gibran konsisten dengan food estate. Tanpa food estate, industrialisasi pertanian di Indonesia tak akan berdaya guna mencukupi kebutuhan pangan bagi rakyatnya. Zaman meromantisme petani bertani dengan cangkul dan bajak yang ditarik sapi sebagaimana zaman Saijah dan Adinda, sudah harus ditinggalkan. Maka Gibran dengan jelas mengungkapkan bagaimana sektor pertanian harus dijalankan dengan modern, mulai dari mekanisasi, penyemprotan dengan dron sampai mengukur ph tanah dengan teknologi. Cara seperti ini merupakan kehendak sejarah agar pertanian bukan sekedar sektor sampingan, tapi menjadi bagian dari kemajuan kapitalisme modern.

Memodernkan pertanian juga untuk mengikis sisa-sisa feodal di kalangan petani. Kesadaran petani mesti didorong menjadi kesadaran kelas sebagaimana kesadaran kelas buruh: bahwa mereka bagian dari masyarakat kapitalis. Dalam sistem kapitalisme maju, petani sebagaimana dikatakan Mao Tse Tung bukan lagi lautan borjuis kecil dengan sepetak dua petak tanah, tapi telah menjadi bagian dari proletariat. Mereka akan memasuki pertanian kolektif dengan teknologi maju. Dengan begitu, petani akan membentuk serikat-serikatnya sebagaimana kaum buruh melakukan. Dengan begitu, petani akan terlibat aktif dalam perjuangan politik, bukan hanya semata pada perjuangan ekonomis.

Dalam dua debat memperlihatkan Gibran memiliki kemampuan yang mendalam tentang problem-problem kapitalisme Indonesia. Hal ini tak dimiliki oleh generasi tua, baik Mahfud maupun Muhaimin. Maka Gibran menyatakan problem zaman now hanya bisa diselesaikan generasi zaman now. 

Melihat kemampuan Gibran dalam dua debat, Yenny Wahid benar: Gibran wae.***





Komentar

Postingan populer dari blog ini

SENJAKALA PDIP

Sepertinya PDIP sudah kesulitan membendung arus balik politik. Kanjeng Mami semakin ditinggalkan wong cilik. Oleh: Ragil Nugroho (Penikmat ikan koi) Aktivis tani era 90an yang pernah dicabut kumisnya oleh introgrator ketika tertangkap, Hari Gombloh, mengungkapkan bahwa pendukung Ganjar di tapal Kulonprogo tipis alias kecil. Padahal, beber warga Brosot ini, Kulonprogo merupakan salah satu kandang Banteng. Menurutnya, ini wajar karena Kulonprogo dekat dengan Wadas. Seperti kita tahu, selama beberapa tahun Wadas merupakan titik episentrum perlawanan terhadap Ganjar dan PDIP. Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, ada ungkapan, " Sadumuk bathuk sanyari bumi ". Ungkapan ini bermakna bahwa satu sentuhan pada dahi dan satu pengurangan ukuran atas tanah (bumi) selebar jari saja bisa dibayar, dibela dengan nyawa (pati). Bagi orang Jawa, tanah adalah kehormatan dan harga diri. Sebagaimana sentuhan pada dahi yang menurut orang Jawa adalah penghinaan, maka penyerobotan tanah walaupun han