Langsung ke konten utama

SURAT TERBUKA KEPADA PUAN DAN TUAN PENANDATANGAN PETISI BULAKSUMUR


Sebenarnya kita bisa tahu kenapa Petisi Bulaksumur begitu amburadul. Kita tahu kualitas Agus Wahyudi yang mengaku sebagai inisiator petisi. Semenjak menjadi mahasiswa Filsafat UGM, ia hanya asyik masyuk melakukan onani intelektual. Ketika kawan-kawan mahasiswa sezamannya seperti Andi Munajat, Johnsony Marhasak Lumbantobing, Webby Warouw, Hari Subagio dan generasi setelah seperti, Wibowo Arief, Danang Ardianta, Manik Wijil Sadmoko hingga Dhohir Farizi  bertungkus lumus berjuang bersama rakyat tertindas, Agus Wahyudi hanya sibuk mastrubasi dengan diktat-diktat kuliah di kamarnya.

Oleh: Endhiq Anang P, Alumnus Filsafat UGM

Apa yang menamakan diri Petisi Bulaksumur, merengek-rengek kepada Jokowi di Balairung UGM. Konon mereka adalah para tuan dan puan guru besar atau yang memiliki gelar akademik yang mentereng. Rata-rata sudah berumur tua. Tergopoh-gopoh menyampaikan petisi agar Jokowi kembali ke "jalan yang benar." Dalam pentas di Balairung UGM itu, kekurangan mereka tidak ada derai air mata sehingga rengekan tersebut kurang dramatis dan teaterikal. Mungkin alumnus UGM, Hasto Kristianto, Sekjen PDIP, lupa memberikan instruksi itu.

Seperti anjing yang terbakar buntutnya, mereka mengkaing-kaing bahwa demokrasi dalam bahaya. Penyair Wiji Thukul pernah mengatakan, ketakutan itu hanya ada di kepala. Inilah yang terjadi pada tuan dan puan guru besar itu. Ada ketakutan di kepala mereka bahwa sepak terjang Jokowi membahayakan demokrasi. Ketakutan semacam ini wajar karena mereka selama ini terbiasa melakukan mastrubasi intelektual di kampus sehingga hanya berkutat pada imajiasi, keseakanan, impian dan igauan tentang segala hal, termasuk tentang demokrasi. 

Seorang jebolan UGM, bukan doktor (kelak mendapatkan gelar doktor honoris causa), bernama Willibrodus Surendra Broto atau terkenal dengan nama panggung WS. Rendra, dalam pidatonya di hadapan Akademi Jakarta tanggal 22 Agustus 1975, mengungkapkan seorang cendekiawan (budayawan di dalamnya) harus berumah  di angin. Dengan berumah di angin mereka bebas ke sana kemari. Tugas mereka adalah menjaga roh yang kerjanya mencari "inspirasi dan daya hidup." Tugas mereka menjaga keseimbangan antara yang hidup di keraton dan gedung dewan. Saat itu Rendra masih penganut Julien Benda, intelektual adalah para petapa yang menjaga jarak dengan rakyat. Mereka adalah sosok suci yang memberikan wejangan moral dan etika kepada rakyat. 

Dua alumnus UGM, Andi Arief dan Nezar Patria, menulis buku Antonio Gramsci   Negara dan Hegomoni (2003). Seperti kita tahu, Gramsci merupakan filsuf Italia yang terkenal pemikirannya tentang intelektual organik, yaitu intelektual yang berada di tengah-tengah rakyat, terlibat dalam perjuangan rakyat. Dua tahun setelah pidatonya di Akademi Jakarta, WS Rendra mengakui kesalahannya tentang posisi cendekiawan yang berumah di angin. Lewat sajak Sebatang Lisong, Rendra mengubah posisinya:

­­­­­­­" kita mesti berhenti membeli rumus rumus asing

diktat diktat hanya boleh memberi metode

tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan

kita mesti keluar ke jalan raya

keluar ke desa desa

mencatat sendiri semua gejala

dan menghayati persoalan yang nyata."


Apa yang menamakan diri Petisi Bulaksumur tidak pernah keluar ke "jalan raya" dan "desa-desa" sehingga mengeluarkan pernyataan berisi igauan di siang bolong. Ini wajar karena dalam sejarah hidup mereka, sejak semasa menjadi mahasiswa hingga menjadi guru besar, tak pernah terlibat dalam perjuangan rakyat. Mereka sibuk "membeli rumus-rumus asing", tak pernah peduli pada derita rakyat sekitar. 

Ketika rezim Soeharto tumbuh dalam kediktatorannya, mulut para tuan dan puan guru besar itu bungkam, tak mampu mengeja satu huruf pun untuk membuat maklumat melawan kediktatoran kapitalis militeristik Soeharto. Mereka seperti segerombolan siput yang mencari aman dengan sembunyi di cangkang akademisi. Ketika mahasiswa UGM dan luar UGM yang melakukan demonstrasi di Bunderan UGM pada tanggal 3-5 April 1998 digebuki dan di kejar-kejar sampai ke dalam kampus, para puan dan tuan guru besar berubah menjadi tuli telingganya sehingga tak mampu membuat petisi mengutuk kebrutalan rezim Orde Baru yang benar-benar ancaman bagi demokrasi. 

Para puan dan puan profesor tersebut merupakan bagian dari generas penakut, jangankan berjuang menumbangkan Orde Baru, mimpi melawan Soeharto saja sudah membuat mereka terkencing-kencing di celana. Apa yang bisa kita harapkan dari generasi tua semacam itu? Yang sepanjang hidupnya hanya sibuk mencari aman dan sekarang tiba-tiba bicara terhadap ancaman demokrasi? Apa yang bisa kita andalkan dari generasi tua yang sejak bayi hingga saat ini, tangannya bersih dari keterlibatan berjuang membela rakyat tertindas? Di mana mereka ketika Ganjar Pranowo mengobrak-abrik Wadas yang jaraknya hanya selemparan batu dari UGM? Mengapa mereka tiba-tiba buta ketika Anies Baswaden menggunakan politik identitas ketika maju dalam Pilkada DKI Jakarta?


Dalam Petisi Bulaksumur itu terlihat jelas para puan dan tuan guru besar hidup dalam lanturan dan igauan. Mereka menyimpulkan adanya penyimpangan oleh penyelenggara negara dalam proses pemilu yang saat ini. Namun, tak sedikitpun sebagai sekumpulan cendekiawan mereka memberikan bukti atas pernyataan tersebut. Mereka hanya teriak ada jambret tanpa menunjukkan apa saja UU yang dilanggar, siapa pelaku dan institusi negara apa yang melanggar dan metode apa yang digunakan.

Jika kita mengacu pada pernyataan racauan tentang pelanggaran yang dituduhkan kepada Jokowi, misalnya, tentang masalah kebolehan presiden dalam kampanye dan berpihak, juga merupakan tuduhan palsu. Jokowi hanya menjelaskan isi UU Pemilu, bukan opini atau kehendaknya. Serangan kepada Jokowi semecam ini semestinya kelas NGO/LSM, bukan kelas puan dan tuan guru besar yang memiliki kewaskitaan.

Tentang pelanggaran etik yang diduga dilakukan oleh Makamah Konstitusi, lagi-lagi apa yang menamakan dirinya Petisi Bulaksumur menuduh Jokowi tanpa bukti. Sebagai segerombolan cendekiawan jelas memalukan. Mereka hendak menggiring publik bahwa Jokowi ikut terlibat mengintervensi keputusan Makamah Konstitusi hingga lahir revisi UU yang membolehkan bocil Solo, Gibran Rakabuming menjadi cawapres. Para puan dan tuan guru besar itu tak sedikitpun memberikan data tentang kapan, di mana, siapa dan hal-hal lainnya yang mengarah pada keterlibatan Jokowi dalam putusan Makamah Konstitusi tersebut.

Begitu juga tuduhan terhadap penyelenggara negara tidak netral, tetapi tidak diungkap data, fakta serta dokumen untuk menguatkan tuduhan tersebut. Mereka hanya berangkat dari andaian, bukan berdasarkan fakta-fakta yang bisa diuji secara ilmiah. Padahal seorang cendekiawan semestinya berangkat dari mengumpulkan fakta, menyusun fakta, membuat dan membuktikan kesimpulan. Para puan dan puan guru besar UGM ini persis seperti anjing yang sedang kawin: hanya ribut tak jelas akar dan muaranya. 

Dari petisi yang rumpang tersebut, bisa jadi mereka merupakan komunitas politik berbaju akademisi yang merupakan bagian dari timses capres yang bertujuan untuk melekatkan opini negatif ke Jokowi dan pemerintah. Dengan petisi asal tuduh tersebut, mereka berharap elektabilitas capres yang dianggap merupakan bagian dari keberlanjutan program Jokowi yaitu pasangan Prabowo-Gibran, bisa tergerus. Kecurigaan tersebut muncul karena tidak lazim para cendekiawan maupun komunitas ilmiah membuat kesimpulan tentang sesuatu tetapi tidak melalui proses metode ilmiah yang ketat, hanya berlandaskan dugaan dan prasangka tanpa adanya pembuktian. Sepertinya ancaman demokrasi dalam batok kepala mereka adalah ketika Jokowi tidak mendukung calon yang mereka dukung.

Sebenarnya kita bisa tahu kenapa Petisi Bulaksumur begitu amburadul. Kita tahu kualitas Agus Wahyudi yang mengaku sebagai inisiator petisi. Semenjak menjadi mahasiswa Filsafat UGM, ia hanya asyik masyuk melakukan onani intelektual. Ketika kawan-kawan mahasiswa sezamannya seperti Andi Munajat, Johnsony Marhasak Lumbantobing, Webby Warouw, Hari Subagio dan generasi setelah seperti, Wibowo Arief, Danang Ardianta, Manik Wijil Sadmoko hingga Dhohir Farizi  bertungkus lumus berjuang bersama rakyat tertindas, Agus Wahyudi hanya sibuk mastrubasi dengan diktat-diktat kuliah di kamarnya. Sekarang ia sibuk berdagang Pancasila, mungkin agar bisa dilirik Megawati. 

Dengan kualitas Agus Wahyudi seperti itu, yang sejak mahasiswa bagian dari generasi penakut sehingga ketika kencing pun harus dipegangi kekasihnya, hanya watak opurtunis dan petualangan intelektual borjuis kecil yang bisa kita harapkan. Dan Petisi Bulaksumur menunjukkan betapa rendahnya kualitas intelektual UGM. Seorang cendekiawan bisa salah, tapi tak boleh bohong.

Pada akhirnya Petisi Bulaksumur hanya pernyataan dari segerombolan intelektual UGM yang ilusi-ilusinya tak pernah terpuaskan. Dan Jokowilah sasaran pelampiasan itu.***

Blitar, 1 Februari 2024







Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

SENJAKALA PDIP

Sepertinya PDIP sudah kesulitan membendung arus balik politik. Kanjeng Mami semakin ditinggalkan wong cilik. Oleh: Ragil Nugroho (Penikmat ikan koi) Aktivis tani era 90an yang pernah dicabut kumisnya oleh introgrator ketika tertangkap, Hari Gombloh, mengungkapkan bahwa pendukung Ganjar di tapal Kulonprogo tipis alias kecil. Padahal, beber warga Brosot ini, Kulonprogo merupakan salah satu kandang Banteng. Menurutnya, ini wajar karena Kulonprogo dekat dengan Wadas. Seperti kita tahu, selama beberapa tahun Wadas merupakan titik episentrum perlawanan terhadap Ganjar dan PDIP. Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, ada ungkapan, " Sadumuk bathuk sanyari bumi ". Ungkapan ini bermakna bahwa satu sentuhan pada dahi dan satu pengurangan ukuran atas tanah (bumi) selebar jari saja bisa dibayar, dibela dengan nyawa (pati). Bagi orang Jawa, tanah adalah kehormatan dan harga diri. Sebagaimana sentuhan pada dahi yang menurut orang Jawa adalah penghinaan, maka penyerobotan tanah walaupun han