Inilah pertanyaannya: kenapa kiri pendukung Anies Baswedan identik dengan kere?
Oleh: Ragil Nugroho
Bila menyimak foto akitivis-aktivis pendukung Anies Baswedan, tergambarkan kondisi kiri yang kere/melarat/miskin. Saya melihat dua orang di foto itu merupakan dedengkot aktivis kiri, namun lihat yang ada di atas meja: hanya asbak dan gelas. Tidak ada kudapan seperti kentang goreng, piza, botol coca-cola, wine atau minimal donat rasa coklat. Sepertinya, untuk membeli gorongan di angkringan saja tidak mampu, apalagi membeli burger king.
Atau mungkin mereka sedang pura-pura kere alias sumaker (sugih macak kere/kaya pura-pura berpenampilan miskin)? Sumaker sering digunakan oleh aktivis kiri untuk berkamuflase agar tidak dimintai sumbangan oleh kawannya, sebagaimana sering dilakukan Agung Nugroho ketika bertemu sesama aktivis kiri. Namun, bila melihat kursi yang mereka duduki dan lantai rumah seperti di dalam foto yang saya lihat, sepertinya keduanya benar-benar kiri yang kere. Inilah pertanyaannya: kenapa kiri pendukung Anies Baswedan identik dengan kere?
Ada pandangan di antara aktivis kiri yang mendukung Anies Baswedan bahwa seorang kiri harus kere. Tujuannya agar bisa merasakan derita rakyat yang sebagian besar masih kere. Hidup kaya menurut pandangan ini adalah pola hidup borjuis. Dan, borjuis adalah musuh yang harus dihancurkan. Bagi mereka, menjadi kaya adalah pengkhianatan terhadap kekirian. Pandangan yang salah inilah yang dikoreksi oleh Deng Xiaoping.
Deng Xiaoping, tokoh komunis dari Tiongkok itu, menyatakan: “menjadi kaya itu mulia.” Sebagaimana disampaikan Suar Suroso dalam buku Marxisme Sebuah Kajian, pandangan Deng telah mengubah paradigma kiri harus kere. Kiri yang kere ini berslogan “sama rasa sama rata, makan bersama di mangkok besar.” Corak produksi Tiongkok kala itu yang masih terbelakang menyebabkan terjadinya penyamarataan kemiskinan. Guna mengubah ini, Deng mengeluarkan prinsip: “strategi perkembangan tidak sama rata, yaitu memperbolehkan sebagian orang kaya duluan, sebagian daerah makmur duluan, untuk tujuan terakhir makmur bersama.” Dengan kata lain, Deng tidak pernah teriak-teriak ologarki, oligarki, oligarki—seperti aktivis kiri pendukung Anies Baswedan. Dengan strategi seperti itu, perkembangan ekonomi Tiongkok mengguncang dunia. Inilah yang membuat para Trotskis sambil terkencing-kencing berteriak kalau Tiongkok telah memunggungi sosialisme.
“Menjadi kaya itu mulia,” dengan “tujuan terakhir makmur bersama”. Kata “makmur bersama” perlu digarisbahawi dengan tinta merah. Mengapa? Karena Anies Baswedan konon akan membangun “keadilan dan kemakmuran” namun yang makmur hanya hanya elitnya saja. Sementara rakyat dibiarkan hidup kere. Rakyat hanya diberikan lauk propaganda bahwa menjadi kere dalam adalah kemulian. Tak masalah hidup kere yang terpenting tulus iklas dalam perjuangan. Prinsip seperti ini tentu berbededa dengan prinsip Deng Xiaoping. Deng berpikir untuk kemakmuran seluruh rakyat Tiongkok, bukan kemakmuran ketua dan elit partai,
Kalau aktivis kiri yang mendukung anis tetap kere, mengapa tetap mendukung? Dalih mereka adalah menyelamatkan dewa demokrasi. Argumen mereka tugas suci ini tidak ternilai dengan kekayaan dan harta benda. Mereka bahkan rela menjual apa saja, termasuk dirinya sendiri, agar demokrasi selamat dengan berhala Anies Baswedan.
Tugas nan mulai ini hanya bisa terwujud kalau Anies menang. Tak apalah tetap kere yang penting kece. Bukan masalah tetap miskin asal demokrasi selamat. Kita harus hargai ketulusan mereka. Kita hormati pilihan menjadi kere. Siapa tahu di Surga akan mendapatkan bahalasan. Miskin di dunia tak masalah, asal mulia ketika di Surga.
Padahal kita tahu semua itu hanya dalih karena masuk gerbong yang kosong. Kita qabulkan saja.***
Komentar
Posting Komentar