Aktivis kiri yang mendukung Ganjar bisa dikatakan mengalami retardasi mental. Apa itu? Yaitu gangguan intelektual dengan kemampuan intelegensi di bawah rata-rata, atau sering disebut disabilitas intelektual.
Oleh: Ragil Nugroho
Bila ditilik, aktivis kiri yang mendukung Ganjar memang bukan kader-kader terbaik di zamannya. Sebagian besar mereka adalah kader kuping (telinga) yang kemampuannya hanya mendengarkan. Rata-rata kemampuan literasi mereka selama masih aktif menjadi aktivis kiri di bawah standar Unicef. Mereka sebagian besar tuna tulis, tidak buta aksara tapi tidak bisa menulis. Tak mengherankan kalau mereka mengalami stunting pengetahuan.
Jangan bandingkan aktivis-aktivis kiri pendukung Ganjar ini selevel dengan Semaoen, Alimin, Mas Marco, Haji Misbach, Muso, Amir, Tan Malaka, Aidit atau Nyoto. Jauh, man. Dibandingkan dengan sesama pendukung Ganjar semisal Adian Napitupulu, Masinton Pasaribu atau Savic Ali saja masih kejauhan. Lantas siapa yang selevel dengan mereka? Mungkin level mereka adalah Gielbran ketua BEM UGM atau Mekli ketua BEM UI.
Dalam Ijin Markus 7:22 , Yesus menggunakan istilah "tak bernalar" atau "bebal" untuk menyebut orang yang bodoh. Namun aktivis kiri pendukung Ganjar yang bodoh tak tepat bila disebut "tak bernalar" atau bebal, tetapi lebih tepat disebut sebagai mengalami "keterbelakangan berpikir." Orang yang "tak bernalar" maupun "bebal" masih bisa diajar, tapi orang yang mengalami "keterbelakangan berpikir" tidak bisa diapa-apain lagi. Sudah dari sononya. Semacam orang yang mengalami "keterbelakangan mental". Maka aktivis kiri pendukung Ganjar yang mengalami "kertebelakangan berpikir" disarankan oleh Nietzsche untuk amor fati (cintailah takdirmu).
Aktivis kiri yang mendukung Ganjar bisa dikatakan mengalami retardasi mental. Apa itu? Yaitu gangguan intelektual dengan kemampuan intelegensi di bawah rata-rata, atau sering disebut disabilitas intelektual. Kemampuannya lebih banyak mengulang-ulang sesuatu. Gejala ini sangat ketara pada aktivis kiri mendukung Ganjar. Kemampuan mereka hanya mengulang-ulang isu orang hilang, neo orba atau demokrasi dikebiri. Salah satu pendukung Ganjar, sebut saja namanya Sindhu (bukan nama sebenarnya) menderita disabilitas intelektual yang bisa dikatakan akut. Ia hanya mengulang-ulang isu lama baik di kala terjaga, tertidur maupun saat menenggak ciu bekonang. Penyakit semacam ini tak ada obatnya.
Gejala lain dari disabilitas intelektual seperti yang dialami aktivis kiri pendukung Ganjar adalah paranoia. Ada semacam ketakutan pada masa lalu. Ketakutan ini sebetulnya tidak ada. Hanya semacam ilusi di kepala. Akibatnya, mereka hanya hidup di masa lalu. Tidak berani menatap masa depan.
Ketika korban penculikan rata-rata sudah hidup sejahtera. Ada yang jadi anggota dewan, pegawai Kantor Staf Presiden, wakil menteri, petinggi partai dan lain-lain. Paro korban sudah hidup berkecukupan, namun para aktivis kiri yang tak pernah diculik ini justru yang tak beranjak dari masa lalu. Sebut saja aktivis kiri pendukung Ganjar bernama Andi Rustanto (bukan nama sebenarnya), justru sibuk menjilati masa lalu. Atau aktivis kiri pendukung Ganjar yang lain, sebut saja namanya Moktar Kodri (bukan nama sebenarnya) malah sibuk mastrubasi masa lalu karena hal itu mungkin saja bisa menghasilkan semacam ejakulasi progresif revolusioner. Sekali lagi, nama-nama aktivis kiri pendukung Ganjar yang tersebut hanya rekaan saja, kalau ada kesamaan karakter dan lain sebagainya, hanya kebetulan yang tak disengaja.
Akibat ulah aktivis kiri pendukung Ganjar yang mengalami "keterbelakangan berpikir" dalam mengangkat isu, Ganjar justru menempati posisi paling buncit dalam survei. Dengan isu-isu elitis semacam itu, Ganjar justru dijauhkan dari massa rakyat, kaum buruh, tani maupun kaum miskin perkotaan. Ganjar justru kehilangan suara elektoralnya. Aktivis kiri di kubu Ganjar hanya mengalami mimpi basah, akibatnya tak memberikan pengaruh signifikan pada calon yang didukungnya, tapi justru seperti peniup terompet dari Hamelin, mengantarkan Ganjar ke tepi jurang.
Padahal Mao Tse Tung dalam On Coalition Goverment menulis dengan tegas, "Kekuatan paling utama yang menggerakkan jalan sejarah adalah massa rakyat, hanya massa rakyat." Namun aktivis kiri pendukung Ganjar yang mengalami disabilitas intelektual justru memunggungi garis massa. Dan, massa pun benar-benar meninggalkan mereka.
Selain memunggungi garis massa, mereka juga tak paham budaya populer. Kubu Prabowo dengan jenius bisa memanfaatkan budaya massa dengan jitu. Kata "gemoy" berhasil menjadi perhatian massa rakyat. Berdasarkan survei terbaru Indikator, kata "gemoy" dikenal oleh 60% publik. Artinya, kata tersebut telah merakyat, bagian dari budaya populer yang diterima secara meluas oleh rakyat. Simpati pun berhamburan ke Prabowo sehingga mendapatkan berkah elektoral.
Sebetulnya bagaimana cara berpropaganda sudah diajarkan dengan jelas oleh Lenin dalam artikelnya Dari Mana Kita Mulai, termasuk menggunakan bahasa yang mudah diterima oleh rakyat. Namun karena aktivis kiri pendukung Ganjar yang dimasa kejayaannya saja kualitasnya di bawah standar, tak mengherankan kalau mereka tak memahami ajaran Lenin tersebut. Mereka tak memahami makna dan peran koran partai yang di zaman budaya populer ini sudah diambi alih oleh media sosial.
Lenin sudah menegaskan, "Omong kosong bicara tentang perluasan struktur tanpa membicarakan berapa eksemplar koran partai yang terdistribusi." Padahal sekarang melalui media sosial dengan mudah mengetahui seberapa banyak materi propaganda terdistribusi. Tapi bicara seperti ini kepada aktivis kiri pendukung Ganjar sama saja bicara dengan kodok. Maka kita harus maklum kalau sekarang di antara pendukung ganjar ada istilah "Sindhuisme" yang artinya "cintailah kebodohanmu."
Sekarang kita jadi mengetahui kenapa syarat aktivis kiri mendukung Ganjar harus bodoh. Ternyata mereka sudah membawa genealogi kebodohan sejak dilahirkan, bukan sejak dalam pikiran.***
Komentar
Posting Komentar