Dalam dinamika politik elektoral, PSI mampu melakukan perluasan struktur dan propaganda sehingga berhasil menarik simpati publik. Dengan "jokowiisme", PSI menempatkan diri sebagai bukan sekadar pelanjut Jokowi, tetapi Jokowi itu sendiri. Wajah Jokowi dan Kaesang bertebaran sampai pelosok-pelosok kota dan desa. Ketika rasa kepuasaan publik terhadap Jokowi tinggi, langkah ini tepat. Para pendukung Jokowi berangsur-angsur mulai melirik PSI
Oleh: Ragil Nugroho
Tempo, seperti babi, menyerang Partai Solidaritas Indonesia (PSI) secara membabi buta. Sebagai partai baru, PSI sepertinya membuat bapak asuh Tempo, CIA resah. Dengan data abal-abal, Tempo mencoba melumuri PSI dengan ter hitam. Sebelum melakukannya pada PSI, Tempo telah melakukannya kepada Iriana Jokowi. Tempo dengan bangga menerapkan jurnalisme misoginis, menempatkan Iriana sebagai sosok jahat seperti Janda dari Dirah dalam kisah Calon Arang. Dalam hal misoginis, kelakuan Tempo bisa dimaklumi karena pendirinya pernah melakukan kekerasan seksual terhadap aktivis perempuan di sebuah hotel di Amerika. Tak mengherankan kalau Tempo memandang rendah perempuan seperti Iriana Jokowi sebagai sosok yang jahat, penghasut laki-laki.
Mengapa PSI begitu ditakuti. Partai ini mengingatkan pada Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam hal membangun organisasi. Setelah dihancurkan tahun 1948, di bawah kepemimpinan DN Aidit, PKI bisa tumbuh sebagai partai besar. Dalam Pemilu1955, PKI menjadi empat besar. Sesuatu yang mengejutkan. Dengan tangan dingin, Aidit mampu membesarkan partai dengan cepat. Sementara partai Goenawan Mohamad ketika muda, Partai Sosialis Indonesia, terpuruk. Sampai-sampai dia rela menjadi agen CIA agar bisa terlibat menghancurkan PKI.
Di tangan Kaesang, PSI memperlihatkan tren kenaikan. Dari berbagai hasil survei, PSI sudah bisa masuk dalam parlemen. Sebelumnya, PSI telah membuka diri. Bergabungnya tokoh NU seperti Dhohir Farisi, membuat PSI menjadi partai gabungan antara Muhamadiyah dan NU. Sementara itu, seperti kita ketahui Raja Juli merupakan kader muda Muhamadiyah. Dua ormas besar bertemu di PSI. Pun, bergabungnya aktivis-aktivis sosial seperti Furqan AMC, Ade Armando hingga Faldo Maldini, menambah darah segar PSI. Dan gongnya, bergabungnya Kaesang Pangarep. PSI telah bersulih menjadi partai seperti yang dikatakan Mao: berkumpulnya seribu bunga mawar merah yang siap bermekaran.
Dalam dinamika politik elektoral, PSI mampu melakukan perluasan struktur dan propaganda sehingga berhasil menarik simpati publik. Dengan "jokowiisme", PSI menempatkan diri sebagai bukan sekadar pelanjut Jokowi, tetapi Jokowi itu sendiri. Wajah Jokowi dan Kaesang bertebaran sampai pelosok-pelosok kota dan desa. Ketika rasa kepuasaan publik terhadap Jokowi tinggi, langkah ini tepat. Para pendukung Jokowi berangsur-angsur mulai melirik PSI. Langkah ini juga pernah dilakukan PKI terhadap figur Sukarno. PKI mampu mengidentikkan diri dengan Sukarno yang pada saat ini begitu dicintai rakyatnya.
Kaesang memang bukan Aidit. Kaesang lahir dari generasi baru borjuasi Indonesia setelah era Soeharto. Sementara itu, Aidit mencul dari sejarah panjang gerakan anti kolonialisme Indonesia. Namun Kaesang memiliki keluwesan sebagaimana Aidit dalam memimpin partai. Kaesang bisa bergerak ke atas dan bawah, samping kanan dan kiri. Dia bisa bergaul dengan elit politik dan rakyat. Dia bisa membaur dengan anak-anak muda seusianya. Gaya politiknya tidak formal. Cara berkomunikasinya seperti anak-anak muda masa kini tanpa kehilangan karakter kejawaannya. Seperti kakaknya, Gibran. Gaya seperti inilah yang bisa menarik simpati publik.
Orang di desa-desa tidak menyukai sosok yang kemlinti/arogon seperti Megawati, Hasto atau Ganjar. Orang di desa-desa juga tidak menyukai orang yang keminter/merasa pandai seperti Anies Baswedan. Sosok Kaesang jauh dari karakter kemlinti dan keminter. Dia tampil apa adanya tanpa dipoles. Sebagai anak presiden, Kaesang tidak adigang, adigung dan adiguna. Tak mengherankan kalau dia berhasil menarik gerbong PSI semakin panjang.
Siapa yang tergerus oleh semakin menanjaknya popularitas PSI? Tentu saja PDIP. Entah ada hubungan atau tidak, Tempo menjadi tukang gebuk PDIP. Ini semacam kolobarasi borjuasi lama yang akan memasuki masa senjakalanya. Bisnis Tempo dan PDIP sama-sama memasuki masa akhir. Kehadiran PSI mengusik mimpi basah mereka tentang keindahan masa lalu. Maka satu suara dengan PDIP, Tempo juga membangkitan hantu Orde Baru. Dulu Orde Baru membangkitkan bahaya laten PKI, sekarang Tempo melakukan hal serupa cuma Orde Baru yang dibangkitkan. Padahal Goenawan Mohamadlah salah satu pendiri Orde Baru.
PDIP dan Tempo hendak melakukan manipulasi bahwa ancaman sekarang adalah Orde Baru. Mereka menuduh PSI dan aktivis 98 memilih berada di belakang Orde Baru. Tentu titik pukulnya adalah Prabowo. Sebagai calon presiden yang sekarang banyak mendapatkan dukungan dari rakyat, Prabowo didiskriditkan sebagai pewaris Orde Baru. Manipulasi ala Manikebu ini membentur dinding-dinding tebal generasi baru. Mereka yang tak pernah bersingungan dengan Orde Baru akan menertawakan manipulasi ala PDIP dan Tempo.
Sembari menyerang PSI dan Jokowi, Tempo juga membabat Budiman Sudjatmiko. Isu-isu ala pres kuning bahwa Budiman mendukung Prabowo karena terlilit hutang telah memperlihatkan mutu jurnalistik Tempo. Tempo berani melakukan serangan personal kepada Budiman, namun tidak berani pernah berani menyerang Sitok Srengenge yang telah melakukan kekerasan seksual beberapa tahun lalu. Maklum Sitok adalah "orang" Tempo. Tak mengherankan kalau Tempo tak pernah membuat liputan khusus tentang Sitok Srengenge sebagaimana membuat liputan tentang Iriana Jokowi dan Budiman Sudjatmiko. Cara-cara injak kaki Tempo ini mengingatkan cara-cara CIA dalam menghancurkan karakter lawan-lawannya. Bisa dimaklumi karena pendiri Tempo merupakan agen CIA yang paling berbakti.
PSI memang sedang mekar-mekarnya. Tempo berusaha mematikan pohonya dengan menyirami dengan minyak tanah. Tapi usaha ini menemukan jalan buntu. Bisa-bisa Guntur Romli yang dipinjam kemaluannya untuk menyerang PSI akan masuk ke panti gila karena frustasi. Sebagai opurtunis tulen, Guntur memang bermuka tembok. Bila seekor anjing akan berterima kasih kepada orang yang menolongnya, Guntur justru menggigit orang yang membantunya. Maka sudah pas dia keluar dari PSI, masuk ke kandang Banteng. Di kandang Banteng dia menemukan habitatnya.
Jurnalisme kuning ala Tempo untuk menghancurkan PSI dan Jokowi tak akan bisa membendung arus sejarah. Sekarang zaman anak-anak muda. Sekarang bukan zaman orang-orang uzur semacam Megawati dan Goenawan Mohamad.***
Masa sih? Ah yang bener??????
BalasHapus